Mitos dan Sejarah mengenai Asal-usul
Berbagai Kerajaan
Apakah
para pendiri dinasti bugis kuno dalam teks La Galigo itu berasal dari
luar, atau khusus lagi, berasal dari india? Pertanyaan seperti ini sering
dilontarkan oleh para Ilmuwan Belanda sebelum Perang Dunia II, yang cenderung
meragukan kemampuan penduduk pribumi Sulawesi Selatan untuk membentuk
kerajaan-kerajaan sendiri tanpa pengaruh India. Kini diketahui bahwa dibeberapa
daerah di Asia Tenggara berbagai kerajaan memang telah ada sebelum terjadinya
proses Indianisasi. Seandainya para pendiri dinasti-dinasti di Sulawesi Selatan
adalah orang india atau para bangsawan yang telah menerima pengaruh
indiasisasi, maka unsur-unsur india dalam budaya setempat tentu akan sangat
menonjol. Meskipun ditemukan jejak pengaruh Hindu dan Buddha dalam budaya
Sulawesi selatan dan sejumlah kata dan nama
orang yang berasal dari bahasa Sansekerta begitu pula system penulisan mereka,
yang oleh para ahli dipastikan berasal dari India hal tersebut mungkin saja
merupakan akibat hubungan perdagangan yang dijalin dengan wilayah barat
Nusantara.
Perkembangan
system perdagangan antarpulau dan keterlibatan mereka dengan perdagangan
internasional kemungkinan merupakan salah satu penyebab utama meningkatnya
perekonomian beberapa komunitas di Sulawesi selatan. Masyarakat inilah yang
kemudian menjadi kerajaan utama yang disebut-sebut dalam teks La Galigo.
Hipotesis ini mengundang munculnya berbagai pertanyaan. Misalnya mengapa proses
perkembangan ini terjadi di masa itu, bukan masa-masa sebelumnya, apalagi jika
kita setuju bahwa proses menetapnya penutur bahasa proto- Sulawesi Selatan,
sejak semula, justru berkaitan dengan perdagangan, atau lebih tepat lagi, berkaitan
dengan perdagangan, atau lebih tepat lagi, berkaitan dengan usaha mereka untuk
mengendalikan pertukaran antara hasil bumi setempat dengan barang impor yang
berharga. Selanjutnya mengapa kontak dagang yang lama dilakukan dengan pedagang
India bahkan kemungkinan adanya penetap yang telah mendapat pengaruh India atau
agama Buddha dan Hindu tidak menyebabkan munculnya kerajaan-kerajaan yang
terindianisasi, sebagaimana yang terjadi di Sumatra, jawa atau bali.
Jawaban
atas pertanyaan itu mungkin hanya dapat direka-reka. Yang jelas, meski
masyarakat Sulawesi Selatan memperoleh banyak keuntungan dari hubungannya
dengan dunia luar, mereka rupanya memiliki akar budaya yang cukup kuat untuk
menangkal proses asimilasi. Hal itu dapat dibandingkan dengan proses islamisasi
yang terjadi beberapa abad kemudian. Proses tersebut baru berhasil setelah
terjadi kontak pertama antara penduduk Sulawesi Selatan dengan para pedagang
muslim yang menetap di situ, serta setelah perlawanan yang cukup sengit dari
berbagai kalangan masyarakat.
Jika
kita sependapat bahwa peradaban Bugis awal sebagaimana di gambarkan dalam teks La
Galigo tersebut memiliki sejumlah unsure kebenaran, maka kita harus bisa
menjelaskan mengapa kondisi sosial budaya pada periode La Galigo begitu
berbeda dengan kondisi masyarakat pada periode sejarah awal. Padahal, walaupun
teks La Galigo dan kronik sejarah awal berbeda sifat dan gaya
penulisannya, keduanya tetap saja menggambarkan mitos yang serupa
tentang keturunan dewata sebagai leluhur raja-raja berbagai dinasti, serta
sama-sama menggambarkan lenyapnya semua turunan dewata tersebut pada akhir
1.
Meski
saya menggunakan istilah preode La Galigo”, hal itu tidak mengacu ke
suatu periode yang pasti pernah ada dan
sedikit banyak sesuai dengan gambarnya dalam sure Galigo, tetapi kesuatu
periode peralihan antara “zaman perunggu besi” ( bronze-iro age), waktu penduduk mungkin masih berpuak-puak, dan “
zaman sejarah” yang kita kenal berdasarkan bahan tertulis naskah Lontara’a'
2.
Saya
memakai istilah “raja” dalam arti seorang penguasa berstatus bangsawan yang
beribawa, dan pemerintah suatu daerah ( besar ataupun kecil)beserta penduduknya
atas dasar setatusnnya sebagai keturunan raja’. Arti itu kurang lebih sama
dengan kata seigneur (prancis) atau seignior (Inggris) dalam sistem feodal
yang berlaku di Eropa barat zaman pertengahan. Raja atasan atau pun membawahi
satu atau lebih raja bawahan.
Periode pertama, dan hanya menyisakan keturunan terakhir
dinasti itu di Luwuk’, Wewang Nriwu’, Tompo’Tikka, dan Cina. Baik tradisi lisan
maupun kronik sejarah sama-sama menjelaskan bahwa lenyapnya keturan dewata
tersebut diikuti oleh kekacauan yang berkepanjangan. Kekacauan baru berakhir
dengan munculnya dinasti–dinasti baru. Sementara itu, apa yang terjadi di
antara kedua periode tersebut tidak banyak yang dapat diceritakan.
Bagian pembuka kronik Lontaran’a’toriolog’
Bugis biasanyalebih bersifat mitologis daripada historis, dan sering
memiliki pola yang seragam. Kronik biasanya dimulai dengan turunya (manurung) dari langit atau timbulnya (tompo) dari dunia bawah (peretiwi), raja (arung) pertama, yang kadang kala didahului dengan cerita
dibukaknya negeri (wanua) oleh para
perintis sesudah mereka mengemabara selang beberapa lama. Setelahitu, menyusul
deskripsi kondisi dan syarat kesepakatan yang diadakan antara raja baru denga
penduduk awal wanua, yang diwakili oleh matoa
atau ‘tetua’ mereka. Hal itu kadang-kadang disertai pula dengan rincian
mengenai bagaimana suatu pemerintah baru diatur, dilanjutkan dengan daftar
silsila raj-raja awal. Biasanya, sangat sedikit rincian tentang hal-hal selain
itu yang dimasukan pada awal kronik.
Setelah menganalis secara cermatbagian pembuka kronikdari
empat kerajaan penting Bugis, yakni Luwuk’, pammana (sebelumnya bernama Cina),
Soppeng, dan sindenreng, lan Caldwell (Bugis
Texs : 169) menyimpulkan bahwa silsilah para raja sebelum tarikh 1400 Masehi jauh lebih kabur daripada
silsilah sesudah tarikh 1400 Masehi. Dia menyimpulkan bahwa tarikh tersebut
menandai mulai berkembangnya sistem penulisan di sulawesi selatan. Kita bisa
sependapat dengan kesimpulan Caldwell itu, sepanjang hal tersebut tidak
diartikan perkenalan pertama orang Sulawesi Selatan dengan tulisan. Sebab, jauh
sebelum itu mereka telah memiliki kebiasaan bertukar pesan yang ditulis di atas
bahan yang tidak tahan lama. Belakangan, barulah tulisan lazim digunakan untuk
mencatat peristiwa-peristiwa, silsilah, kesepakatanatau perjanjian, dalam
bentuk dokumen yang kemudian diwariskan dengan cermat dari generasi ke
generasi.
Hanya saja, saya tidak sependapat dengan pandangan
Calldwell yang menganggap sedikitnya catatan yang berasal dari periode sebelum
tarikh 1400 Masehi yang terdapat dalam kronik sejarah, berhubungan dengan
keterbatasan daya hafal dan daya ingat mereka suatu hal yang menurutnya umum
terjadi pada masyarakat Indonesia tertentu. Pengalaman langsung saya dengan
masyarakat Bugis kontemporer justru menunjukkan bahwa orang-orang Bugis.
Ternyata mampu mengingat silsilah keturun yang panjang dan kompleks, bahkan
silsilah sistem kekerabatan bilateral di mana oraang harus meghafal setiap cabang dari kedua belah pihak untuk
setiap generasi. Demikian pula halnya dengan nama-nama raja yang setelah
meninggal tidak disebutkan nama “aslinya” (aseng ri alena) melainkan dengan
“nama kematian” (aseng matena) yang juga tidak menjadi masalah, karena cara ini
tidak mencegah merekauntuk menelusuri jejak keturunannya. Belum
lagi cerita La Galigo, yang
terdiri dari atas dan ribuan baris, yang mula-mula muncul dalam bentuk lisan
yang dihafal. Belum lagi tokoh-tokoh cerita tersebut yang memiliki silsilah
sambung menyambung dan sangat rumit, mencakup ratusan tokoh dengan garis
kekerabatan masing-masing yang bercabang-cabang. Padahal, ada tujuh generasi
tokoh cerita yang harus diceritakan silsilahnya, yakni lima generasi manusia
ditambah dua generasi dewa. Demikian pula para pencerita dongeng (pa’curita) biasa pula mengingat puluhan
cerita yang akan mereka kisahkan sepanjang malam. Dengan Demikian, para penulis
lontara’abad ke-15 itu pasti sanggup menghafal silsila setempat dan mampu
mengingat peristiwa-peristiwa sejarah yang telah terjadi satu atau dua abad
sebelumnya.
Namun,
catatan lengkap dan rinci mengenai periode sebelumabad ke-14 ternyata tidak
tersedia. Agaknya, hal tersebut bukan suatu kebetulan belaka. Demikian pula
halnya dengan bagian pembuka kronk Bugis yang cenderung bersifat mitologis.
Kebisuan ( mutism, silence ) itu
pasti ada sebab atau alasannya dan mungkin dilartar belakangi maksud-maksud
tertentu yang masi belum jelas. Terjadinya “ perubhan orientasi” dari mitos
kesejarah, sebagimana disebutkan Macknigth
(“ Emergence of Cilivization”:6), serta banyak dan besarnya perbedaan
antara peradaban lebih tua yang diuraikan dalam naska La Galigo dengan
yang tercatat dala kronik abad ke-15, boleh jadi merupakan suatu pertanda bahwa
sulawesi selatan pada abad ke-14 tengah
berada dalam suatu masa perubahan dan/ atau ketidakpastian besar.
Sumber :
Sumber :
Pelras, Christian. 2006. Manusia
Bugis. Jakarta: ISBN
No comments:
Post a Comment