Masa Orde Baru
1966
Disusun
Oleh :
Kelompok 6
Annisa Diva Siti Nurbarani 1701414004
Dwi Kusumawati 1701414030
Febriani Jambo 1701414016
Ranita Wiryasanti 1701414022
Refly Moncube 1701414002
Wiglisna Hanna 1701414422
Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pengetahuan
Universitas Cokroaminoto Palopo
2018/2019
Kata pengantar
Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pengetahuan
Universitas Cokroaminoto Palopo
2018/2019
Kata pengantar
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga
makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Dan harapan kami semoga makalah ini
dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya
dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik
lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman
kami, Kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu
kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.
Palopo,
November 2018
Penyusun
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Orde Baru adalah istilah yang
digunakan untuk memisahkan antara kekuasaan Soekarno (Orde Lama) dengan masa
Soeharto. Sebagai masa yang memberikan tanda sebagai sebuah masa baru setelah
pemberontakan Gerakan 30 September 1965. Kekuasan Soekarno sebagai presiden
beralih ke Soeharto ditandai dengan keluarnya surat Perintah Sebelas Maret
(SUPERSEMAR) 1966 yang dikeluarkan oleh presiden Soekarno kepada Soeharto untuk
melakukakn penataan pada kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan
berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana
Awal Kebangkitan Orde Baru?
2. Bagaimana
Kebijakan Politik pada Masa Orde Baru?
3. Apa
Yang Menyebabkan Ketidakpuasan Aceh Pada Masa Orde Baru?
4. Bagaimana
Sentralisasi Daerah Orde Baru?
1.3
Tujuan
Dengan dibuatnya makalah ini kami
berharap dapat mencapai tujuan yang kami
inginkan yaitu dapat mempelajari dan memahami Masa Orde Baru tahun 1966.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Masa Orde Baru 1966
Orde
Baru adalah istilah yang digunakan untuk memisahkan antara kekuasaan Soekarno
(Orde Lama) dengan masa Soeharto. Sebagai masa yang memberikan tanda sebagai sebuah masa baru setelah pemberontakan Gerakan 30
September 1965. Pada saat memasuki orde baru Indonesia berusaha mewujudkan
aturan-aturan baru didalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang berlandaskan
pancasila secara murni dan konsekuen.
Masa orde baru merupakan masa pemerintahan Soeharto. Yang dipilih oleh MPRS No.
XXXIII/MPRS/1967 tentang peralihan kekuasaan dari presiden Soekarno ke pejabat
Presiden Soeharto, melalui sidang Umum MPRS 1968 yaitu menetapkan pengangkatan
Soeharto sebagai Presiden RI.
2.2 Awal Kebangkitan
Orde Baru
1. Orde
baru dimulai pada tanggal 11 Maret 1966 Saat itu Presiden Soekarno mengeluarkan
Surat Perintah kepada Letnan jendral Soeharto yang menjabat sebagai Menteri
panglima Angkatan darat dan panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan
Ketertiban (Pangkopkamtib).[1]
2. Lahirnya
Orde Baru disebabkan oleh peristiwa G30S/PKI yang menyebabkan situasi Negara
menjadi kritis, sehingga pada tanggal 11 maret 1966 diadakanlah sidang Kabinet
Dwikora yang telah Disempurnakan dan dipimpin langsung oleh Presiden Soekarno
dengan tujuan agar Letnan jendral Soeharto dapat melakukan tindakan yang
dianggap perlu untuk menjamin keamanan, ketenangan, dan kestabilan jalannya
pemerintahan, dan menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Presiden/Panglima
Tertinggi/Pemimpin besar Revolusi/Mandataris MPR demi untuk keutuhan bangsa dan
Negara Republik Indonesia. 1
3. Dalam
sidang tersebut, tepatnya di tengah persidangan Presiden Soekarno memberikan
pimpinan sidang kepada Wakil perdana menteri II (Waperdam II) Dr. J. Leimena
karena adanya gelagat bahaya yang muncul pada saat itu sehingga Presiden Soerkarno
dilarikan ke Istana Bogor untuk diamankan bersama dengan Waperdam I Dr.
Subandrio dan Waperdam II Chairul Saleh. Dr. J. Leimena menyusul ke Bogor
setelah sidang Kabinet selesai.1
4. Di
hari itu juga Letnan Jendral Soeharto mengutus tiga orang perwira tinggi, yaitu
Mayor Jendral Basuki Rahmat, Brigadir Jendral M. Yusuf, dan Brigadir Jendral
Amir Mahmud langsung menghadap ke Presiden Soekarno di Istana Bogor untuk
meyampaikan laporan tentang situasi Ibukota Jakarta kepada Presiden Soekarno
dan memohon agar Presiden Soekarno melakukan tindakan untuk mengatasi situasi
tersebut.
5. Soeharto
kemudian melakukan tindakan dengan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar)
yang di keluarkan oleh Presiden Soekarno dengan mengambil kebijakan politik
melalui langkah-langkah berikut.
a. Membubarkan
dan melarang PKI beserta organisasi massa yang berada di seluruh wilayah
Indonesia.
b. Mengamankan
15 orang menteri yang dilai terlibat dalam G30S/PKI.
c. Memilih
beberapa menteri ad interim untuk mengisi pos-pos yang lowong karena
diamankannya beberapa menteri yang terlibat dalam G30S/PKI.
d. Melakukan
pembersihan pada Lembaga-lembaga Negara lain dari unsur-unsur G30S/PKI dan
memberhentikan orang-orang DPR-GR dan MPRS yang dianggap terlibat G30S/PKI.[2]
6. Dengan
tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Soeharto dan adanya supersemar dalam
menyelesaikan krisis nasional menyebabkan kedudukan Soeharto makin kuat di
dalam bidang politik nasional. Sehingga Soeharto mendapat kepercayaan rakayat
untuk menggantikan Presiden Soekarno dalam memimpin Pemerintahan dikarenakan
kedudukan presiden Soekarno makin melemah.2
7. Jadi
pengeluaran Surat Perintah 11 Maret 1966 adalah awal dari lahirnya Orde Baru.
2.3
Kebijakan Politik Orde Baru
Kebijakan politik yang dikeluarkan terbagi menjadi dua,
yaitu kebijakan politik dalam negeri dan luar negeri. Masing-masing kebijakan
tentunya dikeluarkan berdasarkan kebutuhan Negara. Berikut adalah kebijakan
politik pada masa orde baru :
1. Kebijakan Politik dalam Negeri
a. Pelaksanaan
pemilu 1971
Selama
masa Orde baru pemerintah berhasil mengadakan pemilihan umum yang selalu di
menangkan oleh Golkar sebanyak 6kali pemilihan yaitu pada tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pemilihan kali
ini berbeda dengan pemilihan sebelumnya Pada pemilu ini para pejabat pemerintah hanya berpihak
kepada salah satu peserta Pemilu yaitu Golkar. Dan juga pada pemilu sebelumnya
berlandaskan asas Jujur, Kebersamaan, Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia. Namun
di pemilu 1971 asas Jujur dan Kebersamaan ditiadakan.[3]
b. Penyederhanaan Partai Politik
Pemerintahan
melakukan penyederhanaan partai politk dengan menggabungkan beberapa partai
pada tahun 1973 dengan tujuan untuk berupaya menciptakan stabilitas kehidupan
berbangsa dan bernegara. Dikarenakan pada masa sebelumnya perpecahan yang
terjadi di masa orde lama, disebabkan karena perbedaan ideology politik dan
ketidakseragaman persepsi serta pemahaman pancasila sebagai sumber hukum
tertinggi di Indonesia.3
Penyederhanaan partai politik
menjadi dua partai dan satu golongan karya yaitu:
·
Partai
Persatuan Pembangunan (PPP)
Gabungan dari Nahdatul Ulama,
Parmusi, Perti, PSSI
·
Partai
Demokrasi Indonesia
Gabungan dari Partai Nasional
Indonesia, Partai Katolik, Partai Murba, IPKI, Parkindo.
·
Golongan
Karya (GOLKAR)[4]
c. Dwifungsi
ABRI
Pada masa
Orde Baru ABRI menjadi Institusi paling penting di Indonesia, selain menjadi
angkatan bersenjata untuk kekuatan pertahanan keamanan juga sebagai kekuatan
sosial politik. Sebagai kekuatan sosial politik ABRI diarahkan untuk mampu berperan
secara aktif dalam pembangunan nasional. ABRI juga memiliki wakil dalam MPR
yang dikenal sebagai Fraksi ABRI, sehingga kedudukannya pada masa Orde Baru
sangat dominan.3
d. Pedoman
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4)
Pada
tanggal 12 April 1976 Presiden Soeharto mengemukakan gagasan mengenai
pedoman untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila, yang terkenal dengan nama Ekaprasatya
Pancakarsa atau Pedomanan Pengahayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Untuk
mendukung pelaksanaan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen, maka sejak tahun 1978 pemerintah menyelenggarakan penataran P4 secara menyeluruh
pada semua lapisan masyarakat. Penataran P4 ini bertujuan membentuk pemahaman
yang sama mengenai demokrasi Pancasila, sehingga dengan adanya
pemahaman yang sama terhadap Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 diharapkan
persatuan dan kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara. Melalui
penegasan tersebut opini rakyat akan mengarah pada dukungan yang kuat terhadap
pemerintah Orde Baru. Sehingga sejak tahun 1985 pemerintah menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal dalam
kehidupan berorganisasi. Semua bentuk organisasi tidak boleh menggunakan asasnya
selain Pancasila. Menolak Pancasila sebagai sebagai asas tunggal merupakan
pengkhianatan terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian
Penataran P4 merupakan suatu bentuk indoktrinasi ideologi, dan Pancasila menjadi
bagian dari sistem kepribadian, sistem budaya, dan sistem sosial masyarakat
Indonesia. Pancasila merupakan prestasi tertinggi Orde Baru, dan oleh karenanya maka semua prestasi lainnya
dikaitkan dengan nama Pancasila. Mulai dari sistem ekonomi Pancasila, pers
Pancasila, hubungan industri Pancasila, demokrasi Pancasila, dan sebagainya.
Pancasila dianggap memiliki kesakralan (kesaktian) yang tidak boleh
diperdebatkan.(Wikipedia, Orde Baru).
2. Kebijakan Luar Negeri
a. Indonesia
kembali menjadi anggota PBB
Ketika
Indonesia keluar dari PBB pada tanggal 7 Januari 1965, Indonesia mengalami
kesulitan khususnya dibidang Sosial dan Ekonomi. Indonesia Keluar dari PBB
merupakan bentuk protes Indonesia karena diterimanya Federasi Malaysia sebagai
anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, padahal pada saat itu Indonesia
berkonfrontasi dengan Malaysia. Karena Keadaan ini Indonesia terdorong untuk
menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966 dan tercatat sebagai
anggota ke-60.[5]
Sebagai anggota PBB, Indonesia telah banyak
memperoleh manfaat dan bantuan dari organisasi internasional tersebut. Manfaat
dan bantuan PBB, antara lain sebagai berikut.
1) PBB
turut berperan dalam mempercepat proses pengakuan de facto ataupun de jure
kemerdekaan Indonesia oleh dunia internasional.
2) PBB
turut berperan dalam proses kembalinya Irian Barat ke wilayah RI.
3) PBB
banyak memberikan sumbangan kepada bangsa Indonesia dalam bidang ekonomi,
sosial, dan kebudayaan.5
b. Penghentian
Konfrontasi dengan Malaysia
Pada masa
Orde baru, politik luar negeri Indonsia dikembalikan menjadi politik bebas
aktif
sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Hal ini merupakan pelaksanaan dari
Ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966. Indonesia kemudian segera memulihkan
hubungannya dengan Malaysia yang telah terputus sejak tahun 1964. Hubungan
Indonesia- Malaysia tersebut berhasil dicapai dengan adanya perjanjian yang
ditandatangani Jakarta Accord pada tanggal 11 Agustus 1966 yang diwakili oleh
Adam malik dan Malaysia yang diwakili oleh Tun Abdul Razak. Persetujuan Normalisasi
hubungan Indonesia-Malaysia ini merupakan perundingan yang dilaksanakan di
Bangkok pada tanggal 29 Mei-1 Juni 1966 yang di Kenal Sebagai Persetujuan
Bangkok. 5
c. Pembentukan
Organisasi ASEAN
Association of Southeast Asian Nations atau
Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara atau dikenal dengan nama ASEAN. ASEAN
merupakan organisasi regional yang dibentuk atas prakarsa lima menteri luar
negeri negaranegara di kawasan Asia Tenggara. Kelima menteri luar negeri
tersebut adalah Narsisco Ramos dari Filipina, Adam Malik dari Indonesia, Thanat
Khoman dari Thailand, Tun Abdul Razak dari Malaysia, dan S. Rajaratnam dari
Singapura. Penandatanganannaskah pembentukan ASEAN dilaksanakan pada tanggal 8
Agustus 1967 di Bangkok sehingga naskah pembentukan ASEAN itu disebut Deklarasi
Bangkok. Syarat menjadi anggota adalah dapat menyetujui dasar dan tujuan
pembentukan ASEAN seperti yang tercantum dalam Deklarasi ASEAN. Keanggotaan
ASEAN bertambah seiring dengan banyaknya
negara yang merdeka. Brunei Darussalam secara resmi diterima menjadi anggota
ASEAN yang keenam pada tanggal 7 Januari 1984. Vietnam diterima menjadi anggota
ASEAN ketujuh pada tanggal 28 Juli 1995. Sementara itu, Laos dan Myanmar
bergabung dengan ASEAN pada tanggal 23 Juli 1997 dan menjadi anggota kedelapan
dan kesembilan. Kampuchea menjadi anggota ASEAN yang kesepuluh pada tanggal 30
April 1999. (Suryandari, Sh Mosthofa, Tutik Mulyati, 2009:17)
2.4
Ketidakpuasan Daerah Aceh
Dengan
adanya sistem sentralistik pemerintahan Soeharto dan juga keluhan-keluhan lain
mendorong tokoh masyarakat di Aceh yaitu Hasan di Tiro untuk membentuk sebuah
gerakan yang dinamakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tanggal 4 Desember 1976
dan mendeklarasikan kemerdekaan Aceh. Budaya pemerintah Indonesia dianggap
“neo-kolonial”, dan meningkatnya jumlah imigran dari pulau Jawa ke provinsi
Aceh serta distribusi pendapatan yang tidak adil dari sumber daya alam
substansial Aceh juga menjadi bahan perdebatan.[6]
Kemungkinan Penyebab Konflik
1.
Sejarah
Akademis
dari ANU
Edward Aspinall berpendapat bahwa pengalaman sejarah Aceh selama Revolusi Nasional Indonesia
menyebabkan munculnya separatisme Aceh. Peristiwa masa lalu menyebabkan
perkembangan selanjutnya. Dia berargumen bahwa pemberontakan Aceh di bawah
pemerintahan Indonesia terjadi berdasarkan jalur sejarah Aceh. Hal ini bisa
ditelusuri ke konflik kepentingan dan peristiwa-peristiwa tertentu dalam
sejarah Aceh, terutama otonomi yang didapat oleh para ulama
Aceh selama revolusi nasional dan kehilangan yang dramatis setelah kemerdekaan
Indonesia.[7]
2.
Agama
Di Aceh Agama Islam yang sangat
konsevatif dipraktikkan sebab mayoritas penduduk disana merupakan umat muslim.
Hal ini berbeda dengan penerapan Islam moderat di sebagian besar wilayah di
Indonesia. Adanya perbedaan budaya dan penerapan agama islam di Aceh dan
beberapa daerah didaerah lain di Indonesia menjadi gambaran sebab konflik yang
paling jelas. Selain itu karena adanya kebijakan-kebijakan sekuler dalam
administrasi Orde Baru Presiden Soeharto dimana banyak tokoh-tokoh Aceh
membenci kebijakan pemerintahan Orde baru pusat yang memberlakukan satu “Budaya
Indonesia” dan juga dikarenakan lokasi provinsi Aceh di ujung Barat Indonesia
yang sangat jauh dari pusat Ibukota menimbulkan sentiment yang meluas di
masyarakat provinsi Aceh bahwa para pemimpin di Jakarta yang jauh tidak
mengerti masalah yang dimiliki Aceh dan tidak bersimpati pada kebutuhan
masyarakat Aceh dan adat istiadat di aceh yang berbeda.
Faktor penyebab keagamaan lain bagi
separatisme di Aceh adalah perlakuan yang didapat kelompok Muslim dan partai
politik di Aceh oleh administrasi Orde
Baru rezim Presiden Soeharto.
Pertama, adanya penggabungan paksa semua partai politik yang mewakili
kepentingan Islam ke dalam Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) pada tahun 1973.
Anggota dan simpatisan partai politik Islam di Aceh mengalamiberbagai tingkat
pelecehan.[8]Walaupun
Aceh mempunyai status wilayah khusus, Aceh tidak diizinkan untuk menerapkan syariah
atau untuk mengintegrasikan sekolah-sekolah agama Islam (madrasah)
dengan sekolah-sekolah nasional untuk menjadi sistem pendidikan terpadu, kedua
proposal Aceh ini diabaikan oleh pemerintah pusat.[9]
3.
Ekonomi
Masalah utama yang berkaitan dengan
masalah ekonomi Aceh yaitu terkait pendapatan yang diperoleh dari industry gas
dan minyak di Aceh. Robinson
berpendapat bahwa manajemen Orde Baru, eksploitasi sumber daya alam Aceh
dan pembagian yang tidak adil dari sumber daya tersebut adalah akar penyebab
pemberontakan Aceh.[10]
Dari tahun 1970-an sampai
pertengahan 1980-an, Aceh telah mengalami "booming LNG" setelah penemuan gas alam di pantai timur laut provinsi Aceh.
Selama periode yang sama, Aceh menjadi sumber pendapatan utama bagi pemerintah
pusat. Pada tahun 1980, Aceh memberikan kontribusi yang signifikan kepada
ekspor Indonesia ketika menjadi sumber ekspor terbesar ketiga setelah provinsi Kalimantan Timur dan Riau.[11]
Meskipun demikian hamper semua
pendapatan yang diperoleh aceh dari minyak dan gas dari kegiatan produksi
ekspor di Aceh selalu dialokasikan ke pemerintah pusat baik secara langsung
maupun melalui perjanjian bagi hasil dengan perusahaan minyak Negara Pertamina.
Namun, pemerintah pusat tidak kembali menginventasikan cukup banyak pendapatan
tersebut kembali ke provinsi Aceh. Sehingga beberapa teknokratis aceh yang
mulai meonjol pada saat itu mengeluh jika aceh telah diperlakukan tidak adil
secara ekonomi dan juga Aceh telah diabaikan sebagai daerah pinggiran.
2.5 Sentralisasi Daerah
Sentralisasi merupakan pemusatan
kekuasaan yang dilakukan suatu negara sebelum ide tentang demokrasi dalam
menemukan. Dalam sistem sentralisasi pemerintah suatu negara menganut sistem
kekuasaan yang terpusat. Orang – orang dari pusat atau pemerintah pusat di
setiap daerah diatur oleh perundang – undangan yang berlaku yang biasanya
berada di ibukota suatu negara. Berbagai kebijakan yang ditujukan untuk publik
pada masa sentralisasi dirumuskan, diputuskan dan dilaksanakan oleh orang –
orang dari pemerintah pusat tanpa memperhatikan pendapat langsung dari daerah
masing – masing.
Sentralisasi
Pada Masa Orde Baru (Soeharto era)
Pada masa Soeharto dikenal sebagai
rezim otoriter, dimana sentralisasi dilakukan atas asumsi pemusatan kekuasaan
untuk terlaksananya pembangunan ekonomi, pembangunan stabilitas politik dan
pembangunan Indoesia secara bersamaan tetapi tujuan – tujuan tersebut dianggap
tidaklah baik karena terjadinya kendala pembangunan antar daerah yang tidak
merata. Dimana, faktor – faktor ini disebabkan karena adanya kebijakan daerah
yang dirumuskan, ditentukan dan dijalankan oleh pusat. Seharusnya pendapat dari
minoritas kedaerahan itu didengarkan sebagai wujud dari komunikasi politik dan
proses kebijakan publik tetapi pendapat ini malah tidah dihiraukan. Jika keluhan-keluhan yang disampaikan berasalkan dari rakyat didaerah
sendiri, maka yang tahu permasalahan dan penyelasaiannya adalah rakyat dari
daerah tersebut Selain sebagai rezim otoriter, sistem pemerintahan yang
terkenal pada masa ini yaitu pemerintahan semi monarki. Dimana kekuasaan
jabatan – jabatan negara yang dibangun dan pemutusan – pemutusan kebijakan
dilaksanakan berdasarkan atas opini orang terdekat, kerabat dan keluarga dari
Soeharto. Bukan pendapat dari publik maupun pihak – pihak civil yang mungkin
jauh lebih berkualitas dalam bidang – bidang politik, jabatan penting dalam
kenegaraan maupun orang – orang penting dalam pembangunan bangsa dan negara. [12]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Lahirnya
Orde Baru pada tanggal 11 Maret 1966 dilatar belakangi oleh persitiwa
pemberontakan Gerakan 30 september 1965, diikuti dengan kondisi politik,
keamanan dan ekonomi yang kacau (Inflasi yang tinggi). Dengan dikeluarkannya
SUPERSEMAR adalah awal dari Masa Orde Baru dimana kekuasaan soeharto semakin
kuat karena kepercayaan rakyat kepada Soeharto dalam menggantikan Presiden Soekarno
yang pada saat itu kekuasannya kian melemah.
B. Saran
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan, maka dari itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat kami harapkan demi kesempurnaan penyusunan makalah kami selanjutnya.
B. Saran
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan, maka dari itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat kami harapkan demi kesempurnaan penyusunan makalah kami selanjutnya.