Masyarakat Dan Budaya Yang Bertahan Dan Yang Berubah
Disusun
Oleh :
Kelompok 3
Annisa Diva Siti Nurbarani 1701414004
Miana 1701414031
Muhammad Adam Asmin 1701414398
Nurul Pratiwi 1701414374
Ricky Eko Heryanto 1701414146
Susantri 1701414445
Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar
Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan
Universitas Cokroaminoto Palopo
2017/2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga
makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Dan harapan kami semoga makalah ini
dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya
dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik
lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman
kami, Kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu
kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.
Palopo,
November 2018
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.2
Latar Belakang
Suku
Bugis terkenal dengan suku perantau yang tersebar ke beberapa wilayah di
Indonesia. Suku Bugis atau to 'Ugi merupakan suku asli di tanah Sulawesi
khususnya di Sulawesi Selatan. Suku Bugis adalah suku yang sangat menjunjung
tinggi harga diri dan martabat. Suku ini sangat menghindari tindakan-tindakan
yang mengakibatkan turunnya harga diri atau martabat seseorang. Jika seorang
anggota keluarga melakukan tindakan yang membuat malu keluarga, maka ia akan
diusir atau dibunuh. Namun, adat ini sudah luntur di zaman sekarang ini. Tidak
ada lagi keluarga yang tega membunuh anggota keluarganya hanya karena tidak
ingin menanggung malu dan tentunya melanggar hukum. Sedangkan adat malu masih
dijunjung oleh masyarakat Bugis kebanyakan. Walaupun tidak seketat dulu, tapi
setidaknya masih diingat dan dipatuhi.
1.3 Rumusan Masalah
1. Bagaimana
Sistem Kekerabatan, Gender, dan Perkawinan dalam masyarakat Bugis?
2. Bagaimana
Stratifikasi Sosial dalam masyarakat Bugis?
3. Bagaimana
Penguasa, Wilayah Kekuasaan, dan Kerajaan dalam masyarakat Bugis?
4. Bagaimana
Proses Pengelompokkan Dan Struktur Internal Wanua?
5. Bagaimana
Hubungan Patron-Klien dalam masyarakat Bugis?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Masyarakat Dari Tradisional ke Modern
Pembahasan
pada bab-bab sebelumnya menunjukkan bahwa upaya memasukkan budaya dan masyarakat Bugis ke dalam suatu tataran
tradisional tertentu merupakan suatu hal yang sia-sia belaka, jika istilah
“tradisional” yang dimaksud adalah “belum tersentuh pengaruh-pengaruh luar”.
Setiap budaya, pada masa tertentu, selain memiliki unsur-unsur kebudayaan yang
diwarisi dari masa lampau dan dipertahankan, juga memiliki unsure-unsur baru
hasil ciptaan sendiri dan unsure-unsur baru yang dipinjam dari luar. Di antara
sejumlah masyarakat yang mudah tertarik kepada hal-hal baru, orang Bugis
tampaknya termasuk salah satu yang reseptif, terhadap unsure luar yang mereka
anggap bermanfaat. Dengan demikian, hubungan dengan dunia luar dan hubungan
perdagangan termasuk di antara faktor-faktor utama yang berperan penting
membentuk kepribadian orang Bugis. Meskipun,pada aspek-aspek tertentu, jelas
terlihat adanya unsure-unsur yang berkesinambungan selama berabad-abad, namun,
disisi lain, budaya dan masyarakat Bugis juga tidak pernah lepas dari perubahan
yang terus menerus berlangsung hingga dewasa ini (Pelras, Tradition of Modernity).
Dengan
demikian, gambaran para lmwuan asing tentang masyarakat tradisional Bugis pada
pertengahan abad ke-19 hingga awal abad ke-20—seperti B.F Matthes, orientalis
berkebangsaan belanda; atau pengunjng berikurnya termasuk penjelajah dari
inggris, James brooke; pelancong dari Austria, Ida Pfeiffer, serta ahli ilmu
alam swiss, Paul dan Fritz Sarasin—bukan gambaran suatu masyarakat tradisional
dalam arti statis, kolot “membantu”, dan tidak pernah berubah. Potret yang
mereka sodorkan justru mengindikasikan suatu masyarakat yang lentur dan mampu
menjalani proses perubahan terus-menerus sesuai zaman. Banyak unsure luar yang
telah diserap kedalam hampir seluruh aspek kehidupan orang Bugis selama ini
yang memperkaya hukum adat, tatanan sosial politik, adat-istiadat, ritual dan
kepercayaan, tingkah laku, pekerjaan sehari-hari, teknologi, pengetahuan,
cerita rakyat, hiburan, dan sastra. Akan tetapi, unsure-unsur serapan tersebut
diolah dengan begitu apik, sehingga baik orang luar maupun orang Bugis sendiri
menganggapnya sebagai suatu entitas budaya yang sudah menyatu, atau merupakan
tradisi yang utuh dan padu.
Dalam
perspektif seperti itu, interaksi awal orang Bugis dengan Barat tidak jauh
berbeda dengan interaksi mereka dengan orang Melayu, Jawa atau Cina. Bahkan,
penaklukan Belanda terhadap Makassar hanyalah satu babak dari pergaulan panjang
sejumlah kekuatan untuk menguasai dan mendalikan aktivitas perdagangan di
Sulawesi Selatan. Pada mulanya peran yang dimainkan kekuatan asing—yang
berpangkalan di Jawa itu—terhadap Goa yang disamakan dengan yang pernah dilakukan
Goa terhadap Bone, atau Bone terhadap Luwu’.
Namun,
sejak awal abad ke-19, kesinambungan pola hubungan dengan dunia luar seperti
itu terputus, karena seluruh wilayah tersebut, terutama para pedagang yang
hidup didalamnya, mulai terlibat dalam era baru perekonomian global yang sarat
semangat kapitalisme industri Barat. Era baru tersebut banyak menyediakan
barang-barang murah, yang diimpor dan diproduksi secara missal. Pada
gilirannya, produk ini menggeser posisi industry rakyat dan domestik. Sementara
itu, makin berkembang tanaman-tanaman baru seperti jagung, kopi, kopra dan
coklat, yang pada umumnya diperuntukkan pada pasar Eropa. Akibatnya, dasar
perekonomian setempat menjadi goyah. Hal itu juga berimbas kepada struktur
sosial masyarakat Bugis. Ruang sosial menjadi semakin lapang dan wawasan mereka
pun terbuka menghadapi cakrawala baru “globalisasi”. Itulah salah satu ciri
yang paling membedakan sikap modern dengan sikap kolot. Seiring dengan itu,
perkembangan di bidang transportasi dan komunikasi, serta meningkatnya
kemampuan baca tulis dan pendidikan, pada gilirannya berpengaruh pula terhadap
bidang keagamaan dan pengetahuan umum.
Momen
penting yang menandai masa transisi masyarakat Bugis menuju modernisasi adalah
berdirinya Singapura pada 1819—dimana mereka terlibat khusus di dalam proses
pembentukannya. Pintu keluar-masuk barang di Asia Tenggara tersebut tetap
merupakan poros aktivitas perdagangan meraka di Nusantara hingga decade
1950-an, karena merupakan batu loncatan usaha mereka di Tanah Melayu, Sumatera,
dan Kalimantan, tempat persinggahan dalam perjalanan naik haji ke Mekah, serta
pusat penyebaran pengetahuan dan informasi penting. Pada 1824, lima tahun
setelah Singapura berdiri, Inggris dan Belanda menandatangani perjanjian
pembagian kegiatan dagang dan pengaruh politik masing-masing di “Asia Tenggara
Maritim”. Perjanjian itu membuahkan perkembangan politik baru yang dampaknya
masih terasa hingga hari ini. Timbullah konsep “Malaya” (British Malaya. Yang mencakup Straits
Settlements, Federated dan Unfederated Malay States) serta konsep “Hindia
Belanda” (Netherlandsch Indie) dimana
kekuasaan inggris dan Belanda kian melebar dan merupakan cikal bakal Negara
Indonesia dan Malaysia dewasa ini.
Orang
Bugis yang hidup di tengah-tengah kedua wilayah itu, tentu saja, terkena pula
imbas arus perubahannya. Sejak 1824 hingga awal abad ke-20, Belanda berusaha
keras untuk memperkuat pengaruh di Sulawesi Selatan,baik pada daerah yang
betul-betul berada dibawah kekuasaan mereka (yang masih bisa dihitung jari),
maupun pada daerah-daerah lain yang relative masih bebas. Pada periode colonial
selanjutnya, antara 1906-1942, Belanda kemudian berhasil mengadakan perubahan
radikal dalam organisasi politik masyarakat Sulawesi Selatan seluruhnya melalui
konsep yang disebut “penguasaan tidak langsung”.
Pada
pertengahan abad ke-20, ketika perubahan besar-besaran terjadi di seluruh
penjuru dunia, banyak cendekiawan pribumi serta antropolog Barat cenderung
membayangkan tradisi masa kilam sebagai cerminan ideal mengenai bagaimana suatu
warisan budaya berhasil bertahan selama-lama berabad-abad tanpa berubah dan
menyayangkan apabila hal itu tidak dipertahankan terus menerus. Orang Bugis
sendiri memang selamanya merupakan orang yang sangat sadar akan sejarah mereka,
dan menjunjung tinggi naskah-naskah yang membicarakan “orang dulu” (to-riolo), serta “adat yang telah
ditetapkan” (ade’ pura onro-e). Itu
sebabnya, dalam konteks zaman pancaroba ini, para cendekiawan Bugis makin
cenderung mengkampanyekan nilai-nilai tradisional kepada generasi muda.
Sementara itu, para pembesar makin cenderung menyelenggarakan pesta perkawinan
adat besar-besaran yang seolah-olah menghidupkan kembali perkawinan kerajaan
pada masa lalu. Atau, pemerintah setempat mengusahakan pembangunan museum
etnografi dan museum terbuka. Sedangkan para antropolog, arkeolog, dan
sejarawan, dihimbau untuk menggali khazanah budaya masa lampau mereka. Transisi
masyarakat Bugis dari era tradisional ke era modern sebenarnya melewati proses
panjang dan kompleks. Banyak unsure kebudayaan warisan masa lalu yang masih
tetap hidup. Ada pula yang perlahan-lahan mengalami proses transformasi yang
lambat sejak abad sebelumnya lalu menjelma menjadi sesuatu yang baru—meskipun
tetap ada jejak kesinambungannya dengan masa silam—dan kini menjadi bagian dari
kebudayaan Bugis modern. Namun, ada pula unsure-unsur budaya zaman masa lampau
yang sudah lenyap sama sekali. Selanjutnya, objek-objek, norma, pola-pola
perilaku yang sama sekali baru telah dan masih terus muncul menggantikannya.
Sebagian besar diantaranya tidak lagi berkaitan dengan cirri khas orang Bugis
dan hanya merupakan pengaruh dari suatu budaya dunia dalam wujud
ke-sulawesi-selatan-an, ke-indonesia-an, dan ke-asia-tenggara-an. Benang-benang
budaya aneka warna tersebut kemudian tersulam menjadi layar pancawarna yang
melatarbelakangi budaya Bugis masyarakat Bugis dewasa ini.
Dalam
bagian ini, saya akan menyajikan suatu gambaran tentang keadaan yang pernah
berlaku disekitar akhir abad ke-19 dengan memaparkan aspek-aspek utama
kehidupan sosial, spiritual, mental, dan material, dengan mencatat apa yang
masih tersisa daripadanya hingga hari ini, meski sejak itu telah terjadi banyak
perubahan. Istilah “tradisional” yang digunakan pada bab-bab berikut ini hanya
mengacu pada realitas itu. Pada bagian akhir buku ini, saya akan menbahas
transformasi dan inovasi kontemporer yang telah terjadi dan yang menjadi
pijakan untuk membangun dunia Bugis masa depan.
2.2 Kekerabatan, Gender, dan
Perkawinan
Dalam masyarakat mana pun, hubungan
kekerabatan merupakan aspek utama, baik karena dinilai penting oleh anggotanya
maupun karena fungsinya sebagai struktur dasar yang akan membentuk suatu
tatanan masyarakat. Pengetahuan mendalam tentang prinsip-prinsip kekerabatan
sangat diperlukan guna memahami apa yang mendasari berbagai aspek kehidupan
masyarakan yang dianggap paling penting oleh orang Bugis dan yang saling
berkaitan dalam membentuk tatanan sosial mereka. Aspek tersebut antara lain
adalah perkawinan, hirarki sosial, kekuasaan, pengaruh pribadi.
1.
Sistem Kekerabatan
Sebagaimana umumnya masyarakat
Austronesia, khususnya orang-orang Nusantara seperti orang Melayu, Jawa,
Kalimantan, dan Filipina, orang Bugispun menganut sistem kekerabatan bilateral
atau dalam bahasa Inggris desebut juga cognatic. Kelompok kekerabatan bilateral
seseorang ditelusuri melalui garis keturunan dari pihak ayah maupun ibu. Suatu
hal yang umum pula berlaku dikalangan masyarakat Eropa, meskipun tidak berlaku
universal. Sebaliknya, sistem kekerabatan kebanyakan masyarakat non-Eropa, yang
banyak diteliti ahli-ahli antrpologi, pada umumnya menganut prinsip patrilineal
atau matrilineal.
Terminology kekerabatan masyarkat
Bugis cukup sederhana dan tergolong sistem kekerabatan “angkatan”. Seluruh
kerabat yang berasal dari garis generasi yang sama, baik laki-laki maupun
perempuan, saudara laki-laki, saudara perempuan, atau sepupu, dimasukkan ke
dalam kategori “saudara” (sumpung lolo,disebut
juga silessureng atau seajing ‘satu asal’). Yang paling penting
adalah apakah dia lebih tua (kaka’)
atau lebih muda (anri’). Begitu pula
halnya dengan generasi dibawahnya, panggilan untuk mereka sama, yakni ana’ (anak), termasuk untuk anak
kandung, kemenakan laki-laki dan perempuan, anak dari sepupu laki dan perempuan,
meskipun ada istilah anaure’(ana’ure)
untuk kemenakan laki-laki dan perempuan. Selanjutnya, baik keturunan ana’ maupun keturunan anaure’ akan disapa sebagai eppo (cucu). Sementara itu, semua
kerabat yang seangkatan dengan ayah atau ibunya, akan disapa paman (ama-ure atau amure) atau bibi (ina-ure).
Sedangkan orangtua dari bapak, ibu, paman dan bibi akan disapa nene’ (yang berarti kakek ataupun
nenek).
Sementara itu, biasanya akan sulit
menentukan apakah orang yang disapa dengan sapaan-sapaan tersebut diatas
benar-benar memiliki hubungan kekerabatan dengan mereka. Hal itu disebabkan
adanya kecenderungan untuk secara otomatis menyapa orang-orang dekat, meskipun
tidak memiliki hubungan kekerabatan, dengan sapaan sesuai generasi mereka
masing-masing. Misalnya, seorang bapak akan otomatis menyapa putra sahabatnya
dengan sapaan ana’, bukan karena
adanya hubungan darah dengannya, akan tetapi karena dia berasal dari generasi
satu tingkat dibawahnya (satu generasi dengan ana’nya). Tentu saja ada juga sapaan untuk menentukan secara pasti
hubungan kekerabatan satu sama lain, yakni dengan menambahkan istilah khusus.
Misalnya: silessureng ri aleku’
‘saudara saya sendiri’ atau anri’ ipa’ku’
‘adik ipar saya’, atau, dalam sastra kuno ina
teng-ncajiangnga-a’, ‘ibu yang tidak melahirkan saya’ sebagai pengganti inaure’ yaitu ‘bibi’.
Dalam sistem bilateral, dimana baik
garis keturunan ibu maupun ayah diperhitungkan, konsep terpenting bukanlah
marga—yang tidak dikenal oleh masyarakat Bugis—akan tetapi “percabangan” dari kedua
sisi. Dengan kata lain, setiap orang memiliki dua garis nenek-moyang, yakni
garis nenek-moyang dari bapak dan ibu. Dari kedua garis tersebut akan terbentuk
jaringan sepupu dari kedua belah pihak yang memiliki dua pasang kakek-nenek,
yakni orang tua bapak dan orangtua ibu mereka yang disebut nene’ wakkang
‘kakek-nenek pangkuan’. Kemudian kedua pasang kakek-nenek itu memiliki pula
orangtua yang berjumlah empat pasang (nene’
uttu’ ‘kakek-nenek lutut’). Lalu keempat pasang orangtua kakek nenek itu
memiliki pula orangtua yang berjumlah delapan pasang (nene’ watang mpiti’, ‘kakek-nenek betis). Seterusnya delapan pasang
orangtua dari orangtua kakek-nenek itu juga memiliki orang tua yang jumlahnya
enam belas pasang (nene’ palakaje’
‘kakek-nenek telapak kaki’).
Dua pasang kakek-nenek menurunkan
sepupu pertama. Empat pasng orang tua dari kakek-nenek menurunkan sepupu kedua.
Delapan pasang orang tua dari orang tua kakek-nenek menurunkan sepupu ketiga.
Dan, akhirnya enam belas pasang orang tua dari orang tuanya orang tua
kakek-nenek menurunkan sepupu empat kali. Secara berturut-turut, sepupu
pertama, kedua, ketiga, dan keempat dalam bahasa Bugis disebut sappo siseng, sappo wekka dua, sappo wekka
tellu, dan sappo wekka eppa’.
Jadi, setiap orang dikelilingi oleh
kerabat yang berasal dari dua cabang, garis bapak maupun garis ibu, mulai dari
yang paling dekat, misalnya dari cabang kedua orang tuanya (saudara, kemenakan,
cucu-kemenakan), hingga kerabat jauh yang berasal dari lima lapis nenek moyang
yang menurunkan berbagai lapis sepupu mereka. Hubungan kekerabatan tersebut
biasanya disebut dengan istilah a’seajingeng
(memiliki asal-usul sama). Jauh dekatnya hubungan kekerabatan ditentukan
oleh lapisan leluhur keberapa yang menghubungkan mereka. Hubungan berdasarkan
nenek moyang tersebut, baik dari pihak bapak maupun ibu, menyatukan mereka
dalam suatu sistem kekerabatan dan memisahkan mereka dengan “orang lain” (tau laeng). Masyarakat Bugis tidak
memiliki suatu kelompok kerabatan bilateral yang mengutamakan salah satu pasangan
nenek-moyang saja, sebagimaa halnya orang Toraja tetangga mereka yang hanya
memusatkan inti kelompok keluarga masing-masing pada sebuah rumah keluarga (tongkonan). Yang terpenting bagis
masyarakat Bugis adalah dicapainya derajat yang tinggi dalam sistem
stratifikasi sosial.
2. Perkawinan
Bagi
masyarakat Bugis, perkawinan berarti siala
‘saling mengambil satu sama lain’. Jadi,
perkawinan adalah ikatan timbal-balik. Walaupun mereka berasal dari status
social berbeda, setelah menjadi suami-isteri mereka merupakan mitra. Hanya
saja, perkawinan bukan sekedar penyatuan dua mempelai semata., akan tetapi
suatu upacara penyatuan dan persekutuan dua keluarga yang biasanya telah
memiliki hubungan sebelumnya dengan maksud kian mempereratnya (ma’pasideppe’ mabela-e atau ‘mendekatkan
yang sudah jauh’). Dikalangan masyarakat biasa,
perkawinan umumnya berlangsung antarkeluarga dekat atau antarkelompok
patronasi yang sama (masalaj “Patron-Klien” akan dibahas lebih lanjut),
sehingga merea sudah saling memahami sebelumnya. Oleh karena itu, mereka yag
berasal dari daerah lain, cenderung menjalin jalur perkawinan. Dengan kata
lain, perkawinan adalah cara terbaik membuat orang lain menjadi “bukan orang
lain” (tennia tau laeng). Hal ini
juga sering ditempuh dua sahabat atau mitra usaha yang bersepakat menikahkan
turunan mereka, atau menjodohkan anak mereka sejak kecil.
Idealnya,
perkawinan dilangsungkan dengan keluarga sendiri. Perkawinan antarsepupu,
sepupu paralel (yaitu keduanya melalui sisi ibu atau melalui sisi bapak) atau
pun sepupu silang yaitu satu dari sisi ibu dan satunya lagi dari bapak,
dianggap sebagai perjodohan terbaik. Ada silang pendapat di kalangan masyarakat
Bugis tentang lapisan sepupu keberapa yang boleh dan yang tidak boleh dikawini.
Banyak yang menggap bahwa perkawinan dengan sepupu satu kali (perkawinan
semacam ini disebut siala marola)
“terlalu panas”, sehingga hubungan seperti itu jarang terjadi, kecuali
dikalangan bangsawan tertinggi. “Darah Putih” yang mengalir dalam tubuh mereka
dan harus dipelihara membuat mereka melakukan hal itu, sebagaimana halnya
tokoh-tokoh dalam cerita La Galigo. Sementara masyarakat biasa lebih menyukai
perkawinan dengan sepupu kedua (siala
me’meng), lalu sepupu ketiga dan keempat.
Hal
penting lainnya adalah pasangan yang hendak menikah tidak boleh berasal dari
generasi atau angkatan yang berbeda. Pasangan yang hendak menikah sebaiknya
berasal daru generasi atau “angkatan” yang sama. Perkawinan antara paman dan
kemenakan perempuan, atau bibi dan kemenakan laki-laki dilarang, dan hubungan
badan diantara mereka akan dianggap sebagai salimara’(hubungan
sumbang, inses). Sementara itu, perkawinan dengan anak dari sepupu keberapapun
sebaiknya dihindari. Naskah silsilah yang ada, menunjukkan bahwa aturan ini
ditegakkan dengan sangat ketat, dan jarang sekali terjadi pelanggaran.
Mengingat seringnya para bangsawan, begitu pula anak-anak mereka, kawin dengan
perempuan yang jauh lebih muda dari mereka, menyebabkan banyak putra bangsawan
yang sebaya usianya dengan kemenakan mereka. Namun, tidak ada paman/bibi yang
kawin dengan kemenakan mereka walaupun usia mereka sebaya.
Bagi
kaum bangsawan, faktor lain yang harus diperhatikan yang paling penting, makah
adalah kesesuaian derajat antara pihak
laki-laki dan perempuan. Berbeda dengan bangsawan laki-laki yang diperbolehkan
kawin dengan pasangan berstatus lebih rendah, bangsawan sama sekali tidak
diperbolehkan menikah dengan orang yang lebih rendah derajatnya. Semakin tinggi
status kebangsawan seseorang, semakin ketat pula aturan yang diberlakukan. Hal
itu masih tetap berlaku hingga kini. Namun, dikalangan bangsawan rendah,
kompromi kian hari kian cenderung terjadi. Istri utama pria bangsawan tinggi
(yang tidak mesti istri pertama) biasanya memiliki derajat kebangsawanyang sama
dengan suaminya. Sementara istri-istri lainnya bisa berasal dari kalangan lebih
renda, atau bahkan orang biasa.
Selama
system politik Bugis tradisional berlaku, prinsip ini tetap dipegang teguh,
karena akan berdampak pada status keturunan mereka dan hak pewarisan tahta (hal
ini akan dibahas pada bagian lain bab ini). Namun demikian, pertimbangan hrta
kekayaan sewaktu-waktu bisa menyebabkan
diabaikannnya prinsip tersebut. Dahulu, khususnya dikalangan orang
Wajo’, laki-laki dari keluarga kaya acapkali diizinkan mengawini perempuan
berstatus lebih tinggi, setelah melalui proses mang’elli dara atau ‘membeli darah’, yakni membeli derajat
(kebangsawan).
Dalam
proses perkawinan, pihak laki-laki harus memberikan mas kawin kepada perempuan1.
Mas kawin terdiri atas dua bagian. Pertama sompa
(secarah harfiah berarti “persembahan” dan sebetulnya berbeda dengan mahar
dalam islam) yang sekarang disimbolkan dengan sejumlah uang rella’(yakni rial, mata uang Portugis yang sebelumnya berlak, antara lain di
Malaka). Rella ditetapkan sesuai
status perempuan dan akan menjadi hak miliknya. Kedua, dui’ menre’(secara harfiah berarti ‘uang naik’) adalah “uang
antaran” pihak pria kepada keluarga pihak perempuan untuk digunakan
melaksanakan pesta perkawinan. Besarnya dui’
menre’ ditentukan oleh keluarga perempuan. Selain itu ditambahkan pula lise’ kawing (hadiah perkawinan), dalam
Islam disebut mahr atau hadiah kepada
mempelai perempuan, biasanya dalam bentuk uang. Akhir-akhir ini mahar
kadang-kadang diganti dengan mushaf Alquran. Sebelum masa penjajahan Belanda,
laki-laki dari luar wilayah tempat tinggal perempuan harus membayar pajak pa’lawa tana (secara harfiah ‘panghalang
tanah’) kepada penguasa setempat yang besarnya sesuai sompa.
3. Pesta pernikahan
Banyak tahapan pendahuluan yang
harus dilewati sebelum pesta pernikahan (ma’pabotting) dilangsungkan. Jika
lelaki belum dijodohkan sejak kecil (atau sebelum dia lahir), maka keluarganya
akan mulai mencari-cari pasangan yang kira-kira dianggap sesuai untuknya. Bagi
kaum bangsawan, garis keturunan 1istilah <<harga
perempuan>>
(bride price) yang sering digunakan antropolog Barat kurang tepat, karena
memberi konotasi jual beli perempuan yang berbeda dengan kenyataan sebenarnya.
Perempuan dan laki-laki diteliti secara seksama untuk mengetahui apakah status
kebangsawan sesuai atau tidak. Jangan sampai tingkat sipelamar lebih rendah
dari tingkat perempuan yang akan dilamar.
Langkah pendahuluan ini ditugaskan
kepada para perempuan paruh baya, yang akan melakukan kunjungan biasa kerumah
pihak perempuan untuk mencari tahu seluk-beluknya. Tahap ini disebut ma’manu-manu’ yaitu ‘berbuat seperti
burung-burung’ (yang terbang kian kemari untuk mencari makan). Stelah itu, baru
dilakukan kunjungan resmi pertama, untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan
secara tidak langsung dan halus (“ada yang ingin mendekati anda… sudah adakah
yang berbicara dengan anda?... sudah adakah yang punya?... apakah pintu masih
terbuka?...), agar kedua belah pihak tidak kehilangan muka seandainya
pendekatan itu tidak membuahkan hasil. Jika keluarga pihak perempuan memberi
lampu hijau, kedua pihak kemudian menentukn hari untuk mengajukan lamaran (ma’duta) secara resmi. Selama proses
pelamaran berlangsung, garis keturunan, status, kekerabatan, dan harta kedua
calon mempelai diteliti lebih jauh, sambil membicarakan sompadan jumlah uang antaran (dui’
menre’) yang harus diberikan oleh pihak laki-laki untuk biaya pesta pernikahan
pasangannya, serta hadiah persembahan kepada calon mempelai perempuan dan
keluarganya. Setelah semua persyaratan ini dise-pakati, ditentukan lagi hari
pertemuan guna mengukuhkan (ma’pasiarekkeng
‘saling menyimpilkan’) kesepakatan tersebut. Pada kesempatan itu hadiah
pertunganan kepada mempelai perempuan (pa’sio’ ‘pengikat’) dibawa, antara lain
berupa sebuah cincin, beserta sejumlah pemberian simbolis lainnya, misalnya
tebu, sebagai simbolis sesuatu yang manis, buah nangka (panasa)diibaratkan harapan (minasa)
dan lain-lain sebagainya. Pihak laki-laki diwakili kerabat dekat atau kenalan
yang dihormati orang tuanya, tetapi kedua orang tua dan calon pengantin sendiri
tidak ikut hadir. Juru bicara pihak laki-laki kemudian kembali membahas hal-hal
yang telah disepakati, kemudian dijawab oleh wakil pihak perempuan, lalu
ditentukanlah hari pesta pernikahan. Setelah itu, hadiah-hadiah yang telah
dibawah diedarkan kepada wakil pihak perempuan, selanjutnya dibawa ke kamar
calon mempelai perempuan.
Pesta
pernikahan berlangsung dua tahap. Pertama acara pernikahan (ma’pabotting atau me’nre’ botting ‘naiknya mempelai’), dilaksanakan dirumah mempelai
perempuan tanpa dihadiri kedua orang tua mempelai laki-laki. Kedua ma’parola (membawa pengantin perempuan
kerumah mertuanya) yang kadang-kadang dilakukan beberapa hari kemudian. Pada
hari pernikahan, mempelai pria datang ke acara pesta bersama para pengiringnya,
dan didahului penyerahan sompa. Pada
zaman dahulu pengantin pria harus melewati sejumlah rintangan simbolik (lawa botting), seperti melewati pasukan
kuda berlapis atau pertunjukan silat, dan baru bisa lewat setelah menyerahkan
hadiah kepada pengawal. Untuk pria bangsawan tertinggi ada lagi upacara khusus,
yang bagian utamanya disebut ma’lawolo,
suatu dialog antara pihak pengantin pria dengan seorang bissu yang mewakili keluarga perempuan. Jika sang bissu sudah yakin
bahwa pengantin pria benar-benar turunan kerajaan Toppo Tikka, Wewang Nriwu’, dan Luwu’,
mewakili arah timur, barat, dan tengah dunia, maka dia perlahan-lahan kan
menarik lawolo, menuntun mempelai
pria naik ke atas rumah di bawah siraman butiran bertitih (bug. Benno). Upacara ini sangat menyerupai upacara pengukuhan
seorang raja (Hamonic, “Mallawolo”).
Setelah
mempelai pria berada dalam rumah mempelai perempuan, masih ada beberapa ritual
serta halangan fisik dan simbolik yang harus dia lewati sebelum perkawinan
dianggap rampung. Pertama-tama dia harus menjalankan tata cara pernikahan yang
dalam tradisi Bugis mengikuti ajaran Islam mazhab Syafi’I (yang dalam beberapa
aspek berbeda dari tata cara yang diikuti Muhammadiyah). Kecuali mempelai
laki-laki, yang harus ada supaya nikah itu sah adalah wali (wakil) mempelai
perempuan serta sekurang-kurangnya dua saksi. Yang diprioritaskan menjadi wali
adalah ayah pengantin perempuan. Jika ayahnya tidak ada, barulah kakeknya,
kemudian saudara lelaki seayah-seibu, atau seayah saja, lalu putra saudara
laki-lakinya. Sesudah itu baru kerabat-kerabat terdekat lainnya atau hakim.
Sedangkan para saksi dipilih dari lelaki yang patut dihormati. Sebenarnya, wali
perempuan yang menikahkannya dengan mempelai lelaki, tetapi biasanya seorang
alim (imam, khatib, ustaz, dan sebagainya) bertindak sebagai “juru nikah” atau
juru bicara si wali.
Sesudah
mempelai laki-laki mengucapkan kalimat syahadat, juru nikah mengemukakan (ijab) kepada calon suami kesediaan sang
wali untuk menikahkan dengannya perempuan yang diwakilinya, dengan ucapan “aku
menikahkan kamu dengan Si Anu, dengan mahar sekian”. Lalu lelaki itu menyatakan
diri menerima (qabul) dengan ucapan
“Aku terima nikahnya Si Anu dengan mahar sekian”. Ucapan itu harus jelas di
dengar oleh para saksi, dan, jika perlu, mereka bisa minta supaya diulangi
lagi. Setelah itu, bru sah nikahnya menurut ajaran islam.
Selanjutnya, mempeli
juga harus menjalankan ritul-ritual adat sebelum sebelum di sahkan oleh
masyarakat sebagai pasangn suami-istri. Misalnya, mempelai laki-laki harus
membayar secara simbolis perempuan penjaga pintu kamar mempelai perempuan,
harus menyentuh tangan atau pergelangan tangn istrinya(ma’dusa’ jenne’ atau ‘membatalkan air sembahyang’), serta
kadang-kadang kedua mempelai secara simbolis “dijahit” dalam satu sarung.
Setelah ritual-ritual dijalankan, perkawinan diresmikan di hadpn publik dimn
kedua mempelai duduk bersanding (tudang
botting atau situdangeng) di
pelminn selama beberpa jam sementara tamu yang menyertai laki-laki sertai pra
tamu undangan pihak perempuan dijamu makan dan disuguhi bermcam-mcam hiburan.
Dahulu, para perkawinan keluarga raja, kedua mempelai bisa duduk selama
berhari-hari dihadapan ratusan bahkan ribuan tamu yang menghadiri pesta
tersebut,seperti saat raja dan ratu dikukuhkan. Menarik untuk diperhatikan
bahwa ritual-ritual adat (sejak saat mempelai lelaki dinikahkan sampai dengan
bersanding) dikuasai oleh kaum perempuan, khususnya indo’ botting yang secarah harfiah berarti ‘inang pegantin’
(Melayu, mak andam). Tahap kedua pesta perkawinan, yaituma’parola, dimana pengantin perempuan disambut oleh orang tua
suaminya, tidak kalah meriahnya, walau ritual nikah islam dan ritual-ritual
adat tentu saja tidak di ulangi lagi.
Selama
duduk bersanding, pasangan ini hanya bisa beristirahat sejenak sekedar untuk
makan dan berganti pakaian. Kemudian, sang laki-laki harus melewati sejumlah
tahap pada malam pesta dan malam-mlam berikutnya untuk membujuk pasangan
barunya. Pertama, agar sang istri memperbolehkannya tidur dikamar yang sama,
membuka selubung dan berbincang dengan sang istri, mengijinkannyamendekat,
hingga akhirnya bersedia untuk tidur bersama. Proses panjang ini, mengingatkan
pada usaha Sawerigading mendekati We Cudai’ dalam La Galigo. Hal itu bisa berlangsung selama berbulan-bulan sebelum
kedua mempelai betul-betul berhubungan sebagai pasangan suami-istri. Adakalanya
sang perempuan bersikukuh menolak pasangannya, sehingga perkawinan terpaksa
kandas dan berakhir dengan perceraian. Bahkan hingga sekarang, proses
pendekatan ini bisa menghabiskan waktu berminggu-minggu, dan jika tidak
berhasil mereka pun akan bercerai.
Upacara
pesta perkawinan merupakan media utama bagi orang Bugis untuk menunjukan
posisinya dalam masyarakat. Misalnya, dengan menjalankan ritual-ritual,
mengenakan pakaian, perhiasan, dan pernak-pernik lain tertentu sesuai dengan
tingkat kebangsawanan dan status social mereka. Selain itu, identitas, status
dan jumlah tamu hadir juga merupakan gambaran luasnya hubungan dan pengaruh
social seseorang. Pesta perkawinan juga merupakan ajang bagi pihak keluarga
mempelai laki-laki dan mempelai perempuan untuk mempertontonkan kekayaan
mereka. Kekayaan keluarga mempelai laki-laki dapat dilihat dari besarnya jumlah
dui’ menre’ yang mereka persembahkan
kepada mempelai perempuan (Millar, Bungis
Wedding: 105-8).
Pada
akhir abad ke-19, besarnya mas kawin (sompa)
di tetapkan sesuai status seseorang. Setiap satuan mas kawin disebut kati (mata uang “kuno”), satu kati
bernilai 66 ringgit, sama dengan 88 rial, 8 uang (8/20 rial) dan 8 duit (8/12
uang), dan setiap kati harus ditambah satu orang budak yang bernilai 40 rial
dan eekor kerbau yang berharga 25 rial. Sompa
bagi perempuan bangsawan kelas tinggi sompa
bocco’ atau ‘sompa puncak’ bisa
mencapai 14 kati, sedangkan perempuan bangsawan tingkat rendah hanya satu kati,
“orang baik” (tau deceng). System
perhitungan ini masih digunakan hingga sekarang, tetapi sejak masa Kemerdekaan
Indonesia mata uang ringgit (dulu senilai 2,5 gulden Belanda) yang dijadikan
satuan perhitungan, jadi satu kati, yang bernilai 66 ringgit, sama dengan 165
rupiah. Mengingat kadar infilasi Indonesia sejak tahun 1960-an dan turunnya
nilai rupiah, sudah jelas uang sompa tidak lagi berharga. Namun sompa itu masih
penting artinya, khususnya bagi keluarga yang berstatus tinggi karena
hadiah-hadiah tambahannya, termasuk di dalamnya hadiah simbolis (batang tebu,
labu, buah nangka, anyaman-anyaman, dan bermacam-macam kue tradisional) yang
pada pesta kawin besar diarak bersama mempelai laki-laki ke rumah mepelai
perempuan oleh pengantar adat. Disamping itu, jumlah uang antaran (dui’ menre’)
makin cenderung naik. Angka yang dicatat oleh Sunan Millar, dalam studinya
tentang perkawinan suku Bugis pada tahun 1975 menunjukkan bahwa besarnya mas
kawin sebenarnya dibulat-kan, sementara dui’ menre’ berkisar antara Rp 2.000
sampai Rp 500.000 (Millar, Bugis, Wedding : 105-7). Sejak memudarnya kekuasaan
politik tradisional, tak ada lagi berwenang menegakkan aturan adat, sehingga
banyak orang kaya dari kalangan biasa, yang cukup “tebal muka” menghadapi
gunjingan masyarakat, mulai memakai simbol-simbol social dalam perkawinan yang
dahulu hanya berlaku bagi kalangan bangsawan.
4. Gender dan Peran Gender
Dalam
masyarakat Bugis, sebagaimana lazimnya masyarakat lain di dunia, lelaki dan
perempuan memiliki wilayah aktivitas masing-masing. Namun, pada hakekatnya
orang Bugis tidak menganggap laki-laki maupun perempuan lebih dominan satu sama
lain. Kriteria pembedaan peran gender lebih berdasarkan kecenderungan social
dalam perilaku individu umumnya (Hamzah, “femmes Bugis”). Orang bugis
menerapkan prinsip kesetaraan gender dalam system kekerabatan bilateral mereka,
dimana pihak ibu dan bapak memiliki peran setara guna menentukan garis
kekerabatan, sehingga mereka menganggap laki-laki maupun perempuan mempunyai
peran sejajar (walaupun berbeda) dalam kehidupan social. Perbedaan inilah yang
menjadi dasar kemitraan mereka dalam menjalankan peran masing-masing.
Meskipun
masuknya islam telah memperkenalkan dan mendorong perilaku yang seolah-olah
menempatkan laki-laki lebih menonjol daripada perempuan, tetapi tingkah laku
tersebut tidak menggambarkan dominasi kaum pria atau marjinalisasi kaum
perempuan (Millar, “Interpreting Gender”). Sebaliknya, kebebasan yang dialami
perempuan bugis dan tanggung jawab yang mereka emban, mengundang rasa takjub
para pengamat Barat abad ke-19. Sir Stamford Raffles, misalnya, pada 1817
menulis bahwa di Sulawesi selatan perempuan “tampil lebih terhormat dari yang
bisa di harapkan dari tingkat kemajuan yang di capai peradaban Bugis secara
umum, dan perempuan tidak mengalami kesulatan hidup yang keras, kemelaratan,
atau kerja berat, yang telah ,menghambat kesuburan kaum mereka di bagian dunia
lain”(Reffles, History of java, lampiran F, “Celebes” : CLXXIX). Sementara
Crawfurd menulis, “perempuan tampil di muka umum adalah sesuatu yang wajar,
mereka aktif dalam suatu bidang kehidupan, menjadi mitra diskusi pria dalam
segenap urusan public, bahkan tak jarang menduduki tahta kerajaan, padahal
menjadi raja di tentukan lewat proses pemilihan” (Crawfurd, History:74).
Pada
awal perkawinan, pasangan pengantin baru biasanya tinggal di rumah orang tua
istri, sehingga tidak memberi ruang kepada suami untuk mendominasi istrinya.
Sementara itu, ruang dalam rumah pada hakikatnya di bagi berdasarkan gender,
bagian depan menjadi wilayah kaum pria, sedang ruang belakang milik kaum perempuan.
Setiap bagian ada pintu masuknya sendiri. Hanya saja, jika perempuan dalam
rumah, kerabat perempuan, dan perempuan lainnya sering masuk lewat pintu depan,
maka laki-laki sangat jarang masuk rumah lewat pintu belakang, apalagi pria
asing. Perempuan pun sering menghabiskan waktu di bagian depan rumah, kecuali
jika ada tamu laki-laki bukan kerabat, sebaliknya, meskipun dapur di bagian
belakang adalah wilayah perempuan, tetapi lelaki kadangkala masuk, khususnya
waktu makan bila tidak ada tamu lelaki selain keluarga atau teman dekat. Daerah
kekuasaan kaum perempuan lain adalah loteng, tempat menyimpan padai, yang pada
zaman dahulu di gunakan sebagai tempat tidur anak gadis yang belum menikah,
terutama jika ada tamu pria bermalam. Pembagian rumah berdasarkan gener paling
tampak jika ada jamuan makan resmi atau saat laki-laki yang bhukan kerabat
datang berkunjung. Biasanya jamuan yang hanya diikuti laki-laki dilangsungkan
di bagian depan, dan perempuan hanya muncul membawa makanan atau penganan.
Pemisahan ini tidak bersifat ketat dan permanen tetapi pengaturannya agak
fleksibel. Tujuannya menjaga perempuan dari gangguan pria asing. Secara umum
boleh dikatakan bahwa rumah sebenarnya adalah bagian perempuan, bukan bagian
laki-laki, dan biasanya di wariskan kepada anak perempuan bungsu.
Menurut pepatah orang
Bugis, wilayah perempuan adalah sekitar rumah, sedangkan ruang gerak kaum pria
“menjulang hingga ke langit”. Kata bijak tersebut juga di jelaskan peran
laki-laki dan perempuan dalam kehidupan berumahtangga. Baik ia petani, nelayan,
tukang kayu, atau pedagang, ruang aktivitas utama laki-laki adalah di luar
rumah. Dialah tulang punggung penghasilan keluarga dan dialah yang bertugas
mencari nafkah (sappa’ laleng atuong). Sementara perempuan sebagai ibu (indo’
ana’) menjalankan kewajibannya menjaga anak, menumbuk padi, memasak, mencuci,
menyediakan lauk-pauk dan berbelanja keperluan keluarga. Pekerjaan utamanya
dalam rumah dan sekitarnya serta mengatur dan membelanjakan pendapatan suami
selaku “pengurus yang bijaksana” (pa’taro malampe’ nawa-nawa-e).
Gambaran
diats belum memperlihatkan potret utuh. Tidak jarang perempuan ikut mencari
nafkah untuk menghidupi keluarga dengan membuat kerajinan rumah tangga seperti
tetunan, sulam, tikar, atau keranjang, atau membuat penganan kemudian
menjualnya di pasar atau menitipkannya di warung dekat rumah. Malah, istri para
pelaut mengambil alih tanggung jawab suaminya menghidupi keluarganya saat
suaminya pergi melaut. Terkadang pelayaran ini memerlukan waktu berbulan-bulan,
dan selama pergi sang suami hanya menghidupi dirinya sendiri, setelah kembali
kedarat barulah ia menyerahkan hasil yang diperoleh untuk keluarga-biasanya
tidak dalam bentuk uang tunai, lebih sering dalam bentuk pakaian, perhiasan,
perabot rumah tangga atau barang-barang mewah. Kaum perempun juga ikut beperan
dalam pertanian, khususnya pekerjaan yang membutuhkan banyak orang, misalnya
pada musim tanam atau panen, atau pekerjaan yang tidak terlalu berat seperti
menyiangi rumput. Laki-laki kadang turun tangan pula melakukan tugas rumah
tangga yang lazim dijalankan perempuan, misalnya memasak saat berada di gubuk
lading, atau istrinya sakit, atau waktu ada pesta, dimana aktivitas
masak-memasak dilakukan di luar rumah dan banyak sekali nasi atau daging
dipersiapkan untuk menjamu para tamu.
Ada
pula pekerjaan yang biasanya hanya boleh dilakukan oleh perempuan atau
sebaliknya. Pekerjaan khusu pria mencakup mengolah lahan, menabur benih,
memancing di tengah laut (perempuan kadang memancing atau menjaring ikan di
pinggir laut), mengembala ternak, mencari kayu di hutan, mengumpulkan air nira
untuk di buat tuak, berburu, bertukang kayu, membangun rumah atau perahu dan
mengolah besi, emas, atau perak. Tugas yang di bebankan kepada perempuan antara
lain menumbuk padi, menenun dan sejenisnya serta membuat tembikar. Pembagian
kerja ini tidak berarti bahwa perempuan hanya di beri pekerjaan yang ringan
sedangkan laki-laki mendapat bagian yang berat, menumbuk padi menguras tenaga
yang tidak sedikit, sedangkan pengrajin emas yang tergolong pekerjaan halus
adalah pekerjaan khusu laki-laki. Yang penting, bukan perbedaan tugas melainkan
saling melengkapiny, perbedaan itulah yang mendasari kemitraan suami-istri
dalam saling menopang kepentingan mereka masing-masing (sibali perri) dan saling
merepotkan (siporepo).
Perbedaan
gender memang berlaku pula dalam hal cara berpakaian, sikap dan gerak-gerik
fisik, serta tingkah laku, walau batasannya kerap tumpang tindih Dan sangat fleksibel. Berbeda dengan penduduk Nusantara
lainnya, di mana kaum laki-laki memakai sarung sementara perempuan mengenakan
kain panjang, pakaian sehari-hari orang Bugis, laki-laki maupun perempuan
adalah sarung; yang berbeda hanya cara ikatnya. Dalam acara resmi, perempuan
Bugis berpakaian adat tidak mengikat sarung mereka, tetapi menyelempangkannya
sebagian di atas lengan mereka, sehingga tampak elegan tetapi tidak begitu
praktis untuk bergerak. Umumnya, kaum lelaki mengikatkan sarungnya di pinggang
meski tidak memakai baju. Sedangkan, sejak masuknya Islam, perempuan biasanya
mengikat sarung mereka di ketiak atau kadang-kadang pada salah satu bahu (meski
hingga tahun 1960-an beberapa perempuan di kampung, tua maupun muda, masih
bertelanjang dada jika berada dalam rumah) apabila mereka tidak berbaju. Mereka
juga kadang-kadang memakai sarung kedua sebagai penutup kepala jika keluar
rumah. Kebiasaan ini terlihat di daerah-daerah di mana pengaruh Islam cukup
kuat, tetapi tampaknya hal itu bukan hanya karena pengaruh ajaran Islam semata,
karena kebiasaan seperti itu sudah disebut-sebut dalam La Galigo.
Sikap
duduk juga berbeda. Di atas lantai atau tikar, laki-laki duduk bersila
sementara perempuan biasanya duduk dengan kedua kaki ditekuk ke samping. Pada
acara resmi, satu kaki ditekuk ke dalam dan satunya dengan lutut berdiri. Laki-laki
umumnya mengangkat beban dengan cara memikul di bahu (Lempa), sementara perempuan menjunjungnya (‘jujjung) di atas kepala. Ada batasan tertentu bagi kaum hawa dalam
berperilaku, meski sikap agresif sampai tingkat tertentu dianggap wajar bagi pria.
Sebagian besar laki-laki menyelipkan badik, yang disebut kawali, di balik pakaian, sehingga pertengkaran mulut kerap
berakhir dengan pertumpahan darah. Perempuan juga sering membawa kawali dalam perjalanan tetapi hanya
untuk menjaga diri.
Meski
perbedaan perilaku berdasarkan gender di kalangan orang Bugis memang ada, namun
fleksibilitasnya tergambar lewat ungkapan “Meskipun dia laki-laki, jika
memiliki sifat keperempuanan, dia adalah perempuan; dan perempuan, yang
memiliki sifat kelaki-lakian, adalah lelaki” (mau’ni naworoane-mua na makkunrai sipa’na, makkunrai-mui, mau’ni
makkunrai na woroane sipa’na, woro ane-mui). Sebagian contoh penerapan
prinsip ini terlihat dengan penunjukan perempuan sebagai pemimpin politik atau
panglima perang. Figure semacam ini bukan hanya banyak ditemukan dalam sastra
Bugis, tetapi dalam sejarah puntidak sedikit ditemukan tokoh perempuan pejuang.
Contoh paling terkemuka seperti di kemukakan Crawfurd,tentang seseorang
perempuan makasar (dalam hal ini dapat disamakan perempuan
bugis) yang memerintah kerajaan kecil lipukasi tahun 1814:
Tak
lama sebelum saya betemu dengannya, dia bersama prajuritnya baru pulang, dari
medan laga menghadapi musuh.dengan angkuh, ia mencela kelambanan mereka dalam
berperang,dan meminta tombak, untuk member contoh semangat pasukan itu pun
bangkit kembali, lalu mereka maju ke medan perang, dan meraih kemenangan
Dalam perjuangan kemerdekaan melawan
penjajah belanda, perempuan juga ikut berperang. Selain itu, mereka juga bisa
di temukan dalam barisan pasukan pemberontak periode 1949-1965 baik dalam
tentara islam Indonesia pimpinan kahar muzakkar maupun tentara keamanan rakyat
di bawah pimpinan Utman Balo. Perempuan yamg menjadi penguasa kerajaan juga
bukanlah hal baru dalam sejarah Bugis, sebuah fakta yang mengundang rasa takjub
Crawfurd:
Perempuan
di mintai pendapat oleh kaum lelaki dalam semua urusan pemerintahan, dan kerap
kali di angkat menjadi raja, padahal pengangkatan raja di lakukan melalui
proses pemilihan .. pada acara-acara kerajaan,perempuan juga hadir di teengah
kaum pria, duduk dalam siding yang membahas masalah-masalah keegaraan,bahkan
berhak member pertimbangan. Saat ini, kerajaan luwu di Sulawesi selatan di
pimpin istri raja soppeng, tetapi raja soppeng tidak berhak mencampuri uusan
dalam kerajaan luwu, yang di perintah oleh istrinya, ratu kerajaan soppeng.
(Crawfurd,history 74)
Beberapa
tahun kemudian, brooke menulis dngan nada serupa:
Semua
jabatan kerajaan, termasuk arung matoa terbuka
bagi perempuan, dan mereka benr-benar mengisi posisi penting di dalam
pemerintahan, empat dari enam pembesar utama Wajo’ adalah perempuan. Mereka
tampil di muka umum layaknya seorang pria, menygang kuda, memerinntah, dan juga
mengunjungi orang asig. Tanpa harus sepegetahuan atau memita izin suaminya.
(brook, narrative of esener 75)
Yang
di maksud di sini oleh brooke adalah arung
mathoa, ‘raja enam’ yang membentuk dewan pemerintahan karajaan Wajo’.
Meskipun
pada tingkat kampung pemimpin informal semuanya laki-laki, namun sebagai
penghormatan atas sifat-sifat keibuan yang mereka tunjukkan kepada masyarakat
kampung, maka mereka biasanya di sebut ina
tau ‘ibu orang banyak’. Ada juga beberapa contoh perempuan bangsawan Bugis
yang menjabat sebagai kepala desa bahkan camat. Alasan mengapa perempuan
bangsawan diberi peluang untuk menduduki kursi pemerintahan mungkin berkaitan
dengan prinsip-prinsip dasar interaksi social lelaki dengan perempuan, hasil
perpaduan ajaran agama Islam dan adat pra-Islam. Jika seorang perempuan
(muslimah) bisa diperkenankan tinggal seatap dengan lelaki muhrimnya, seperti
kakek langsung, paman atau saudara laki-laki, maka perempuan bangsawan
diijinkan membawahi laki-laki dari status lebih rendah yang tak boleh
dinikahinya. Jika sampai terjadi hubungan hubungan badan, hukumnya baik
menurut aturan sosial maupun agama, sama
beratnya dengan hukuman bagi para pelaku sumbang.
5. Calabai ‘,calalai’ dan Bissu
Mebicarakan gender orang Bugis tidak
akan pernah lengkap tanpa membahas keberadaan dan peran penting “jenis kelamin
ketiga” yakni calabai’ dan “jenis
kelamin ke empat” yakni calali’ (yang
paling kurang dikenal orang luar). Calabai’
secara etimologi berarti ‘perempuan palsu’ atau ‘hampir perempuan’ adalah
laki-laki yang bertingkah laku seperti perempuan. Sedangkan calalai’ yang berarti ‘pria palsu’ atau
‘hampir pria’ adalah perempuan yang bertingkah laku seperti laki-laki. Tulisan
yang mengangkat tema tema tersebut masih sangat terbatas, selain penjelasan
singkat Matthes pada 1872 (Bissoei)
serta sejumlah penelitian Hamonic (“Travessissement et besexualite)” : “Fausses
femmes” : Laguage do dieux: 48) dan Pelras (Transvertiten). James Brooke juga
menyinggungnya dalam jurnal perjalanannya ke Wajo’ pada 1840.
Kabiasaan
yang paling aneh yang saya temukan adalah adanya lelaki yang berpakaian seperti
perempun, dan perempuan yang berpakaian seperti laki-laki, bukan hanya
sementara waktu, tetapi seumur hidup berperilaku seperti jenis kelamin yang
mereka tiru itu. Tampaknya, ada kecenderungan di kalangan orang tua anak
laki-laki ketika melihat munculnya sifat-sifat keperempuanan tertentu dalam kebiasaan
dan penampilan anak laki-lakinya, untuk menyerahkan anak terebut kepda salah
seorang raja, dimana dia akan mengabdi. Biasanya anak laki-laki ini kemudian
akan banyak berpengaruh dan menjadi orang kepercayaan tuan mereka. (Brooke,
Narrative of Events: 88)
Calabai’ ada dihampir semua kampung
Bugis, tampil baik dalam pakaian perempuan penuh atau sebagian saja. Mereka
juga akan terlibat disemua pekerjaan perempuan, seperti memasak, menumbuk padi
atau mencuci pakaian. Meskipun, jika berbicara tentang mereka sebagian anak
muda akan tersenyum simpul dan ulama aliran keras mengecam, tetapi dari sudut
pandang umum betul-betul mengherankan betapa mereka sebenarnya diterima baik
oleh masyarakat dan menjadi salah satu bagian dari mereka. Bahkan sebagian besar
anggota masyarakat menaruh hormat kepada mereka. Kebanyak calabai’ tinggal
bersama orang tuanya atau saudara perempuan yang sudah menikah, sebagian lagi
hidup sendiri. Ada pula yang hidup satu atap dengan laki-laki muda, dan meski
seks tabu dibicarakan secara terbuka dalam masyarakat Bugis, tetapi tampaknya
tidak ada yang meragukan terjadinya praktik homoseksual pada pasangan tersebut.
Biasanya pasangan si calabai’ adalah lelaki normal, bahkan sebagian diantaranya
kawin dan beranak pinak. Calabai’ yang hidup sendiri biasanya di pandang
impoten. Hidup sendiri, mungkin juga merupakan pilihan untuk berpantang seks
guna menghindari perbuatan yang dianggap dosa dalam islam atau untuk menambah
kekuatan, magis lewat jalan esketisme. Berpantang seks biasanya juga dijalankan
oleh pria heteroseksual setengah baya untuk tujuan yang sama.
Catatan pengamat Barat pertama
tentang bissu, dibuat pada tahun 1545 oleh Paiva, seorang berkebangsaan
Portugis (Jacobs, “First Christianity’). Paiva terang-terangan membeberkan
hubungan homoseksual di kalangan mereka, yang menurutnya menjijikan. Dari
gambaran paiva, tampaknya bissu melakukan praktik sodomi (seks anal) dan
fellatio (seks oral). Pada periode yang sama, orang homoseksual yang
dikeramatkan juga terdapat di Jawa, juga pada kaum shaman Bare’e di Sulawesi
Tengah, Bali, Dayak dan penduduk asli Taiwan, serta Filipina, dan Polinesia
(Kroef, “Transvestism in Indonesia”). Tidak semua bissu adalah calabai’, dan
hanya sedikit calabai’ yang menjadi bissu. Mungkin kondisi ambevalen mereka
yang menyebabkan calabai’ dikeramatkan. Berhubung dwasa ini bissu asli sudah
hamper lenyap, maka kebanyakan calabai’ biasanya kembali menjalankan peran
mereka sebelumnya dalam hal penyelenggaraan dan perayaan pesta perkawinan.
Mereka disewa untuk mengurusi masalah-masalah praktis seperti dekorasi rumah,
masak-memasak, dandan dan pakaian pasangan pengantin, serta sewa hiasan dan
pernak-pernik kedua mempelai dan rombongannya. Sering kali mereka juga yang
akan melaksanakan acara-acara ritual tradisional selaku indo’ botting.
Aktivitas ini menjadi sumber penghasilan utama sebagian besar calabai’, dan
membuat sebagian mereka hidup berkecukupan. Potensi ini menjelaskan mengapa
ketika seorang anak lelaki mulai menunjukkan tanda-tanda sikap feminim seperti
bermain permainan anak perempuan atau berpakaian seperti perempuan, banayak
orang tua tidak menghalanginya. Calabai’ berkeras bahwa mereka bukan sekedar
lelaki yang ingin berubah menjadi perempuan, dan setahu saya tidak ada yang
berkeinginan untuk menjalani operasi perubahan kelamin. Mereka mengatakan bahwa
mereka menikmati kemampuan mereka menggabungkan maskulinitas yang dibawa sejak
lahir dengan feminitas yang baru disadari setelah beranjak remaja. Mereka pun
menegaskan adanya kekuatan dan sifat agresif kaum lelaki sejalan dengan sifat
feminim kaum perempuan yang mereka miliki. Mereka bebas bergaul, baik dengan
laki-laki maupun perempuan, tetapi mereka harus mematuhi larangan hubungan
seksual dengan perempuan. Pada abad ke-16, bissu calabai’ yang terbukti melakukan
hubungan seks dengan perempuan akan dihukum mati dengan merebusnya hidup-hidup dalam
gala atau minyak ter mendidih.. Mereka hanya memiliki status individual sebagai
anggota masyarakat bias, dan tidak memperoleh peran sosial atau ritual,
meskipun dalam perkembangannya juga ada penguasa dari kaum calalai’.
2.3 Stratifikasi
Sosial
1.
Prinsip-prinsip
Hirarki Berdasarkan Keturunan
Prinsip hirarki tradisional Bugis cukup sederhana.
Berdasarkan La Galigo dan mitos tentang nenek moyang mereka, awalnya
hanya ada dua jenis manusia: mereka yang “berdarah putih” yang keturunan dewata,
serta mereka yang “berdarah merah”yang tergolong orang biasa, rakyat
jelata, atau budak. Dalam naskah tersebut, pembagian kedua kategori bersifat
mutlak dan tidak boleh saling dicampurkan. Dalam praktiknya, sepanjang sejarah,
perkawinan antara kedua lapisan itu tidk hanya dibolehkan akan tetapi juga
sering terjadi, sehingga mengangkat status kalangan lapisan menengah yang berada
diantara bangsawan tertinggi dengan budak terendah. Menurut naskah La
Galigo, dewataleluhur kaum bangsawan turun ke bumi menjelma jadi manusia
semata karena “tidak ada Tuhan jika tidak ada manusia untuk menyembahnya”.
Batara guru harus menjalani sejumlah ritual desakralisasi, termasuk upacara
mandi guna mengubah aroma dewata menjadi bau tubuh manusia Namun, dalam
tubuhnya dan tubuh to-manurung
berikutnya, begitu pula turunan mereka yang berdarah murni, tetap saja mengalir
“darah putih”. Sebelum perkawinan antar keluarga bangsawan La Galigo
dilangsungkan, salah satu jari mempelai ditusuk utnuk membuktikan bahwa darah
yang menetas benar-benar putih. Pada akhirabad ke-16 pengamat Portugis dengan
penuh rasa heran melaporkan bahwa kerjadian seperti itu benar-benar terjadi di
kalangan penguasa Luwu’ (Eredia, “Golden Khersonese” : 246).
Dalam jurnal kunjungannya ke
Sulawesi Selatan pada tahun 1845, James Brooke menulis hal berikut:
“Tidak
ada bangsa yang melebihi mereka dalam hal pengangungan terhadap status kebangsawanan,sehingga
tidak ada orang melebihi mereka dalam mempertahankan kemurnian darah mereka.
Mereka sangat hati-hati menjaga darah keturunan seperti kita menjaga kemurnian
pada kuda pacu kita, karena sekali darah murni itu tercemar, tidak akan pernah
bisa lagi dibersihkan dari noda. (…) keistimewaan yang di peroleh dari darah
bangsawan murni banyak jumlahnya dan penting artinya…” ((Brooke narrative:
73,75)
Dewasa
ini, bahkan bangsawan yang masih mempercayai dirinya sebagai turunan dewa akan
mengakui bahwa perkawinan antar golongan telah menyebabkan darah putih dalam
tubuh bangsawan tertinggi sekalipun tidak murni lagi.
2. Status Dalam Masyarakat Bugis
Sejak
dahulu kala, satu-satunya aturan paling ketat dalam soal perkawinan adalah
laki-laki bisa kawin dengan perempuan manapun yang memiliki status setara
ataupun lebih rendah dari dirinya namun tidak boleh menikah dengan perempuan
berstatus lebih tinggi. Dalam sisem kekerabatan bilateral pertanyaan kemudian
timbul: jika lelaki “berdarah putih” kawin dengan perempuan “berdarah merah”,
lalu bagaimana status keturunan mereka kelak? Adat istiadat bugis menjawabnya
dengan membangun sistem status berdasarkan pencanpuran darah yang di analogikan
seperti pencampuran logam mulia dengan logam biasa. Apa yang akan dipaparkan berikut
ini merupakan suatu hal yang sudah umum disepakati oleh para ahli silsilah
(Pelras, “Hierarchie et pouvoir”).
Status
tertinggi di sebut ana’ ma’tola, yakni anak (ana’) yang berhak mewarisi (ma’tola)
tahta orang tuanya sebagai penguasa tertinggi
kerajaan. Tingkatan itu terbagi lagi menjadi dua sub - bagian, yakni ana’ sengngeng dan ana’ rajeng. Lapisan kedua terpecah pula menjadi dua gelar. Status
derajat seorang anak, hasil perkawinan sederajat tinggi seperti di atas dengan
perempuan berstatus lebih muda, akan berada di lapisan tengah di antara status
kedua orang tuanya. Jadi, jika ana’
ma’toola dari salah satu sub - status kawin dengan perempuan biasa,
anaknnya akan menjadi ana’ ce’ra’ siseng
(anak berdarah lapisan pertama). Pernikahan ce’ra’
siseng dengan perempuan biasa melahirkan ce’ra’ dua (berdaraah lapisan kedua); percampuran keturunan mereka
dengan perempuan biasa menjadi ce’ra
tellu (cera’ lapisan ketiga). Ketiga lapisan ana’ cera’ mengisi posisi bangsawan menengah. Selanjutnya
perkawinan dari keturunan bangsawan terendah: ampo cinaga,anakarung ma’dara-dara, dan anang. Di bawah mereka terdapat orang biasa (tau sama’) atau orang bebas (tau
marade’ka)- bahkan di kalangan mereka pun masih di bedakan antara yang
leluhurnya masih terhitung bangsawan, berapa rendahpun lapisan dan betapa jauh
pun pertautannya (tau tongeng karaja) dan yang benar – benar turunan orang bisa (tau marade’ka ma’tane’te’ lampe’).
Pola piramid dalam system seperti
itu mengingatkan kepada pola piramid dalam system kekerabatan tingkatan sepupu
di perhitungkan berdasarkan dekat tidaknya pertautan mereka dengan sseorang
nenek moyang yang sama dan kepada pola relasi antara kerajaan atasan dan
bawahan (yang akan di bahas berikutnya).
Jelas pula bahwa sistem hubungan kekerabatan dua sisi tersebut ikut menentukan
status hirarki kebangsawan seseorang. Bangsawan yang beristri beberapa
perempuan berstatus yang berbeda – beda akan memperoleh anak – anak yang
berbeda – beda pul statusnya. Sementara itu, selain memiliki istri dari lapisan
bangsawan sedderajat, yang keturunanannya kelak dapat menggantikan posisinya,
para penguasa bugis sering mengawini perempuan lebih rendah guna memperoleh
keturunan ganda. Keturunan dari perempuan lebih rendah tersebut kelak bisa
mengisi jabatan senior kerajaan meskipun tidak akan sampai jadi ahli waris
tahta. Selain itu, banggsawan tersebut juga akan memperoleh dukungan dari mertuanya, entah dia
orang biasa yang memiliki pengaruh atau bangsawan lapisan bawah. Sebaliknya,
pihak mertua tertarik menikahkan anak perempuannya dengan penguasa karena
adanya peluang bagi keturunan mereka untuk mendaki strata lebih tinggi. Namun,
kecendrungan antar tingkat ini perlahan – lahan menyusutkan jumlah bangsawan
tinggi, sehingga bahkan jabatan arung
di beberapa tempat terpaksa diisi oleh bangsawan sederajat relatif rendah yang
kemudian memamfaatkan posisi mereka di duduki itu untuk mengaku sabagai
bangsawan yang lebih tinggi dari status mereka sebenarnya.
3. Fleksibelitas dalam system
yang tampak kaku
Gambaran system hirarki di atas
hanya di ketahui sepenuhnya oleh mereka yang ahli tentang itu. Orang awam hanya
mengetahui sebagian dari stuktur hirarki yang ada. Untuk menentukan status
seseorang dengan pasti, semua leluhurnya seharusnya di lacak hingga ke to-manarung, dua puluh hingga dua puluh
lima generasi ke belakang. Dalam system kekerabatan bilateral hal itu praktis mustahil dilahkukan,karna leluhur tiap generasi berjumlah
ganda. Bangsawan kelas atas, yang paling mengagungkan status,hanya mementingkan
cera tellu ke atas.di sisi lain,
bangsawan rendah dan anggota masyarakat kebanyakan menggunakan sistem klarifikasi berdasarkan
gelar yangjauh lebih sederhana. Di tingkat kampung, semua orang
berpengaruh,baik bangsawan rendah,orang biasa yang mempunyai sedikit pertalian
darah bangsawan, maupun orang biasa yang memiliki kekayaan, pengaruh, atau
pengetahuan, di sebut tua decceng
(orang baik-baik). Sejak 1920 di gunakan gelar baru di kalangan bangsawan bugis
atau makasar untuk lapisan di atas cera
tellu, yakni gelar Andi dan Andi bau (hanya bangsawan sederajat
paling tinggi saja yang di gelari Andi
bau bahkan sebagian dari mereka ‘’harus puas’’ dengan gelar Andi saja).
Adapun lapisan di bawahnya menggunakan ‘’nama bangsawan’’ mereka dengan dii
dahuluinya sebutan Daeng. Jadi,
masyarakat bias hanya membedakan antara Andi dan Daeng dengan mengabaikan
hirarki status kebangsawanan mereka. Selain itu, belakangan terjadi semacam
‘’inflasi gelar’’ karena kebanyakan orang menyematkan gelar Andi dan Daaeng
yang menurut peraturan adat tidak pantas mereka sandang.
Singkatnya,strafikasi masyarakat
bugis tidak menganut sistem yang kaku. Emigrasi juga bisa menjadi jalan
miningkatkan status. Bangsawan rendah, yang memimpin kelompok kecil pengikutnya
pindah ke daerah lain di mana tidak akan terjadi pemeriksaan silang leluhur
kadang-kadang cenderung mengaku memiliki silsilah lebih tinggi dari sebenarnya.
Para pengikutnya pun akan mendukung sikap mereka itu, karena hal tersebut akan
mengangkat derajat semua anggota kelompok. Keberhasilan di bidang ekonomi, juga
bisa mendongkrak derajat seseorang. Orang yang memiliki kekayaan melimpah,
menguasai tanah luas, punya rumah besar dan indah, dengan mudah akan di anggap
berdarah bangsawan hanya barangkali di lupakan (lineton,study of the bugis).
4. Tanda- Tanda status
Pentingnya hirarki dalam masyarakat
tradisional bugis terlihat jelas dengan adanya sejumlah tanda-tanda dan
symbol-simbol tertentu yang menunjukan status mereka, sehingga orang lain bisa
menentukan cara berprilaku yang tepat terhadapnya. Tanda ini mencakup pernak
pernik pakaian dan arsitektur rumah mereka. Sapaan penghormatan di tentukan
secara seksama berdasarkan derajat bangsawan dan usia seseorang . selain itu,
ada pula gerak gerik, posisi badan
tertentu ketika duduk atau lewat di depan atau dekat seseorang bangsawan, untuk
menunjukan rasa hormat. Perkawinan, di
mana status di pertegas dan di wariskan secara turun temurun, tetap merupakan
ajang utama bagi seorang bugis utuk menunjukan status sosial mereka.
5. Asal Usul Stratifikasi Sosial
Mitos
tentang nenen moyang orang bugis menekankan dua unsure yang saling berkaitan:
bangsawan sebagai keturunan dewata
dan kerajaan luwu kuno sebagai pusat kekuasaan mereka. Jadi, sejak dahulu kala
terdapat ikatan tak terpisah antara kesakralan, kekuasaan, dan kekayaan.
Dalam hipotesis saya yang semula,
saya berpen dapat bahwa lahirnya kebangsawanan bugis terjadi pada masa
bangkitnya kerajaan-kerajaan historis, yaitu sekitar abad ke 14. Saya berasumsi
bahwa perubahan ekonomi (khususnya dalam bidang pertanian) merupakan pemicu
terjadinya perubahan di dalam lingkup kerajaan luwu (pelras’ hierrchie et
pouvior’’ 2:214-6). Orang-orang baru yang memiliki pengaruh dan kekayaan
memperoleh status kebangsawanan yang belum pernah ada sebelumnya, dan ciri
khasnya berbeda dengan pemimpin biasa
adalah sifat keramat yang mereka miliki.
Wibawa luwu’ mungkin penyebab persebaran kbangsawanan itu di wilayah yang
berbeda di bawah kendalli atau pengaruhnya.
Kini, saya berpendapat bahwa
akar-akar stratifikasi sosial orang bugis telah aada jauh sebelum itu,
bertetapan dengan kedatangan populasi luar yang terjadi pada abad-abad peartama
masehi, yeng mungkin berasal dari Kalimantan bagian tenggara atau timur, di
mana setiap kelompok mengikuti pemimpinnya masing-masing kemungkinn hipotesis
lainya adalah bahwa komunitas orang pesisir bukan migran dalam
kelompok-kelompok besar berkembang secara lokal di bawah pengaruh sejumlah
kecil pemimpin pedagang yang juga datang dari bagian tenggara atau timur
Kalimantan (yang bahasa dan budayanya kemudian meraeka adopsi).
Hasil kedua hipotesis di atas adalah
lahirnya komunitas-komunitas yang berorientasi ke peerdagangan antar pulau dan
memiliki budaya yang berbeda dari sebelumnya. Komunitas-komunitas tersebut,
yang terutama di dorong oleh motif untuk menguasai perekonomian, yakni penguasa
atas hasil dan ekspor hasil-hasil alam dan biji logam, saat itu telah
terorganisir lebih baik di banding pendahulu mereka, yakni populasi orang
Austronesia asli yang belum padat, terlebih lagi sisa penduduk pra Austronesia
yang bermukim baik di hutan-hutan maupun di pesisir pantai. Para pemimpin di
komunitas itu sudah berhubungan dengan jaringan perdagangan antar pulau yang
mencapai Sumatra dan semenanjung melayu yang pelabuhannya merupakan pintu lalu
lintas perdagangan dengan india dan tempat-tempat lainnya di samudra Hindia dan
tentu mereka memiliki kebudayaan lebih canggih dari pada penduduk asli.
Kepercayaan mereka sudah menerima sedikit pengaruh Hindia, dan pendetanya
adalah para bissu.
Bersama dengan penyebaran mereka ke seluruh
wilayah tersebut, secara bertap mereka pun mnduduki posisi dominan, menerapkan tatanan sosial, dan bahasa mereka.
Dengan lata lain, mereka mulai membentuk suatu aristrokasi, yang kebenaranya
kelak di kemukakan sacara berlrbih-lebihan dalam teks-teks La Galig, pada periode setelah lahirnya kebudayaan bersama yang
merupakan hasil perpaduan budaya penduduk asli dengan budaya benduduk
pendatang, dan pada periode setelah terjadinya banyak perkawinan silang, walau
kebenaranya sudah terdapat suatu ideoloi yang membedakan antara pendatang
‘’berdarrah putih’’ dengan penduduk ‘’berdarah merah’’ setempat.
Proses serupa kemungkinan pula
berlangsung, dengan latar belakang dan kondisi agak berbeda,di daerah-daerah
yang di huni orang Makassar, toraja, dan mandar yeng menyebabkan adanya persamaan dan perbedaan di antara
kelompok-kelompok tersebut. akibatnya ada factor-faktor tertentu khususnya
factor ekonomi, karena letak strategisnya dalam menguasai jalur menuju
pedalaman penghasil emas dan bijih besi maka Luwu’ yang menjadi pusat kekuasaan
‘’peradaban awal Sulawesi selatan’’ , meski kerajaan itu tidak memiiki
pusat-pusat kota dan hanya memiliki tempat seperti Ussu,wotu dan ware’ sebagai
pusat-pusat budaya.
Pergolakan yang saya perkirakan terjadi sekitar abad ke -14 adalah suatu hal
yang bersifat revolusioner, karena secara revolusioner, karena fundamental mengubah pola hubungan mereka yang ‘’berdarah
putih’’ dengan yang ‘’berdarah merah’’. Walaupun mitos tenang hetorogenitas
absolute leluhur tetap di pertahankan, tetapi sistem yang berlaku di dasarkan
atas kontrak sosial antara para bengsawan, yang di wakili oleh to-manurung dan orang biasa, diwakili
oleh matoa. Hal tersebut
menggambarkan adanya prinsip saling membutuhkan sehingga hak dan kewajiban
masing-masing harus di sepakati bersama. Hubungan baru itu mungkin berkaitan
dengan konteks ekonomi baru, yang lebih menitik beratkan usaha pertanian,
akibat kian luasnya pembukaan lahan dan banyaknya pemukiman dan
kumunitas-komunitaas petani baru yang diprakarsai oleh pimpinan masyarakat (matoa).
Belakangan, kronik sejarah
menggambarkan periode itu sebagai masa anarki yang baru berakhir ketika kaum
bangsawan berhasil mengendalikan kepemimpinan masyarakat yang kondisinya sudah
berubah. Namun demikian, Luwu’ sabagai sumber mitos asal-usul bangsawan dan
kebudayaan bugis, tetap di jadikan acuan. Masyarakat yang tampuk pemimpinnya
hanya di isi oleh kalangan orang biasa bahkan ada yang berinisiatif sendiri
minta di kirimi bangsawan dari Luwu’ untuk
memimpin mereka. Interpretasi ini bertalian dengan kepercayaan yang
masiih tersebar luas bahwa semua bangsawan Bugis pasti terpaut dengan Luwu’,
meski kepercayaan tersebut berlawanan dengan cerita to-manurung.
2.4 Penguasa, Wilayah kekuasaan,
dan Kerajaan
Andaikata hipotesis yang di
kemukakan di atas merefleksikan realitas sebenarnya sekalipun,tetap saja tidak
dapat di pastikan apakah kerajaan-kerajaan Bugis betul-betul pernah mengalami
bentuk monarki absolute seperti yang mendapat dalam teks-teks La-Galigo. sistem pemerintahan seperti
itu pasti tidak di alami oleh Orang Bugis yang hidup dalam kurun waktu
pra-islam dan masa colonial belanda, seperti di gambarkan Crawfurd;
Orang orang berbahasa Bugis, saat
ini, terbagi kedalam kerajaan-kerajaan kecil, dan tampaknya tidak pernah bersatu
di bawah satu payung pemerintahan. Beberapa kerajaan kecil membentuk
persekutuuan sekadar untuk menjaga kepentingan bersama. Setiap kerajaan
memiliki raja sendiri, yang di pilih oleh pemuka-pemuka kerajaan dan pemuka masyarakat turun temurun, dan kaum
perempuan berhak ikut di dalam pemilihan. Raja terpilih kemudian menyusun
sebuah dewan, yang harus mewakili semua semua komponen agar mampu menyerap
semua kepentingan umum (Crawfurd, Descriptiv,Diktionary; 74,S.V.Bugis).
2.5
Proses Pengelompokan dan Struktur Internal Wanua
Crowfurd berhasil memahami dengan
baik struktur piramid lembaga pemerintahan Bugis. Hanya saja, walau terdapat
skema umum mengenai berbagai kerajaan bugis, namun hal itu tidak berarti adanya
keseragaman bentuk. Salah satu contohnya adalah kerajaan Wajo’, yang pada abad
ke-19 dapat di sebut persekutuan kerajaan yang luas dan pengaruhnya
berbeda-beda. Setiap kerajaan di sebut wanua
suatu istilah yang juga di temukan di sriwijaya dan kerajaan-kerajaan pertama
jawa. Kerajaan tersebut sedangkan juga di sebut a’karungeng (wilayah yang di pimpin seorang arung ). Setiap kerajaan memiliki lembaga pemerintahan sendiri,
wilayah bawahan, atau bahkan daerah jajahan (ana’wanua) yang di pimpin oleh arung
masing-masing.
Wanua tidak
serta merta harus di anggap sebuah ‘’komunitas pedasaan’’. Setiap wanua adalah unit wilayah dan unit
pemerintahan besarnya berbeda-beda. Ada yang kecil dan hanya terdiri atas satu
pemukiman, ada pulla yang memiliki banyak pemukiman dan terbagi beberapa sub
wilayah. Sebenarnya mereka merupakan unit sosial yang memiliki pemerintahan
seandiri,tetapi lembaga pemerintahnya tidak berbentuk ‘’demokrasi kampung’’
(seperti di Bali) sebagaimana di gambarkan oleh ilmuan belanda.
Hubungan yang terjalin di dalam
persekutuan Wajo’ antara wanua inti (kelak di kenal dengan nama Tosora)
dengan setiap wanua lain, di rumuskan
melalui persetujuan bilateral seperti yang terdapat dalam berbagai catatan
historis (Andaya, “Treaty Conceptions”). Persetujuan ini merupakan landasan
hubungan antara Wajo’ dengan setiap daerah bawahannya, serta dengan wanuasekutunya. Pola hubungan tersebut,
untuk daerah bawahan diibaratkan sebagai hubungan antara hamba dan majikan,
pengikut dan pemimpin, atau bagikan seorang anak dan ibunya. Untuk sekutu,
hubungannya di ibaratkan seperti saudara yang sama statusnya seperti
kakak-adik. Setiap wanua menetapkan
hukum (bicara) dan adat istiadat (ade’)
sendiri. Mereka juga memperoleh perlindungan dan nasehat “pusat”, sebagai ganti
sejumlah kewajiban yang harus mereka laksanakan sesuai kesepakatan, misalnya
upeti yang setimpal, berbagai pelayanan khusus, atau menyediakan pasukan dalam
jumlah tertentu jika terjadi perang. Dalam wilayah persekutuan Kerajaan Wajo’,
setiap anggota wanua, yakni Tuwa,
Bettempola, dan Talotenreng. Pengelompokkan ini disesuaikan dengan asal-usul
Kerajaan Wajo’ yang berintikan tiga bagian, masing-masing dengan aktivitas
perekonomian tertentu. Perikanan untuk Tuwa, pertanian untuk Bettempola, dan
pengolahan nira untuk Talotenreng.
Konfederasi Wajo’ bersekutu pula
dengan kerajaan sederajatnya. Pada abad ke-16 persekutuan tersebut diwujudkan
dalam penandatanganan perjanjian ‘Tiga Puncak’ (Tellung Mpocco’-e’), di mana Bone menjadi kakak Wajo’ dan soppeng
sebagai adiknya. Dan, meskipun terdapat perbedaan pandangan politis, bahkan
pernah terjadi perang di antara mereka, persekutuan tersebut tidak pernah
dibuubarkan, walaupun Wajo’ kemudian bersekutu dengan Goa dan tetap setia
kepadanya sejak periode masuknya Islam hingga masa penjajahan Belanda.
1. Kerajaan
Struktur pemerintahan di
kerajaan-kerajaan besar, baik yang berbentuk federasi maupun konfederasi,
hamper sama dengan struktur pemerintahan kerajaan yang lebih kecil. Di Wajo’,
penguasa yang disebut Arung Matoa (raja para matoa) selalu laki-laki dibantu oleh suatu dewan sejumlah enam
Arung (terdiri atas tiga ranreng
[pendamping]) laki-laki atau perempuan dari ketiga limpo, dan setiap limpo memiliki
pula seorang Bate Lompo (pemegang
panji, yaitu panglima perang). Meski gelar mereka lebih rendah, kekuasaan
keenam Arung (Arung enneng-e) anggota
dewan tersebut hampir sama dengan Arung Matoa sendiri. Bersama-sama Arung Matoa
mereka membentuk dewan penguasa tertinggi Kerajaan Wajo’ yang digelar Petta ri Wajo’ (Tuan kita di Wajo’).
Selanjutnya setiap limpomempunyai seorang Suro
ri Bateng(duta negeri) yang bertugas menyampaikan pesan pemerintah pusat ke
wanua bawahan, ditambah empat Arung
Ma’bicara (dewan raja penasehat) untuk mendiskusikan kasus-kasus hukum dan adat
yang tidak bisa diselesaikan di tingkat wanua,
serta enam penasehat lain dengan fungsi
memberi pertimbangan. Keempat puluh pejabat ini (tiga Ranreng, tiga Bate Lompo, tiga Suro ri Bateng, dua belas Arung Ma’bicara, delapan belas
penasehat), ditambah Arung Matoa, disebut Arung
Patappul (Empat Puluh Raja) dan terbentuk menjadi lembaga pemerintahan
utama yang menyerupai parlemen. Hal-hal tersebut ditambah penghargaan terhadap
warga Wajo’ sebagai orang merdeka menyebabkan Kerajaan Wajo’ pada abad ke-19
dikenal sebagai sebuah “kerajaan aristokratis-demokratis”.
Sebaliknya, struktur pemerintahan di
Bone yang pada mulanay hampir sama dengan Wajo’, lambat laun berubah menjadi
semakin sentralistik dan otorier, meskipun pemilihan raja (Arung Mangkaue, ‘Arung Berkuasa’) dan perdana menteri (To-marilaleng) tetap diputuskan
oleh sebuah dewan bernama Arung Pitu ‘Arung Tujuh’. Kerajaan Bone
pada mulanya juga berbentuk konfederasi, akan tetapi meski wanua sudah memiliki arung,
organisasi, serta hukum sendiri, namun kekuasaan pusat terhadap wanua bawahannya lebih besra jika
dibandingkan dengan kerjaan Bugis mana pun, kecuali mungkin Kerajaan Luwu’.
Dalam kunjungannya ke Bone, James Brooke melaporkan bahwa:
…konstitusi
lebih srbagai nama daripada kenyataan: sejauh pengamatan saya, kerajaan saat
ini berada dubawah kekuasaan lalim dari pattamankowe
(Petta Mangkau-e). Kekuasaan raja tampak tak terbatas: tak ada yang bisa
menyainginya, kecuali Aru Matoah Wajo’ (sic.) dan Datu Soppeng. Wewenang yang
didelegasikannya kepada menteri berubah-ubah dan aru (arung) itu pitu dewan
agung jadi hanya alat kekuasaan belaka (Brooke, Narrative of Events. 133-4).
2. Pejabat, Raja, dan Penguasa
Tidak ada jabatan dalam kerajaan
Bugis manapun yang dianggap sebagai warisan mutlak, meski tak sedikit putra
atau putri raja yang mewarisi tahta orang tuanya. Banyak jabatan yang terbuka
bagi kaum perempuan. Di Kerajaan Luwu’, Soppeng, dan Bone, jabatan raja
sekalipun terbuka bagi perempuan. Jika ada jabatan yang lowong, pejabat baru
dipilih oleh sebuah dewan pemilihan khusus berdasarkan berbagai kriteria
seperti garis keturunan, hubungan dengan pejabat sebelumnya, kualitas pribadi
dan pengaruh yang dinilai dari jumlah dan kualitas pengikutnya, tanpa
memperhitungkan di daerah mana dia tinggal. Sementara itu, tidak ada jabatan,
termasuk jabatan raja, yang dimasukkan kedalam kriteria jabatan seumur hidup.
Bisa saja, setelah menjabat selama periode tertentu, seorang pejabat akan
berhenti atau diberhentikan, dan seseorang bisa berpindah dari satu jabatan ke
jabatan lainnya atau sekaligus merangkap berbagai jabatan.
Walau mungkin agak berlebihan
menyebut Wajo’ sebagai “kerajaan demokratis”, namun tidak dapat disangka bahwa
kekuasaan di Wajo’ tidak diterapkan secara otoriter atau semena-mena. Brooke
menulis:
Yang
mengherankan adalah maskipun diperintah oleh raja yang feodal dan seirng
berubah-ubah; meskipun lamban, berbelit-belit, dan memihak dalam pergerakan
hukum yang melibatkan orang per orang Wajo’ tetap patut diberi pengharagaan,
serta memiliki persamaan yang menakjubkan dengan pemerintahan zaman feodal
Eropa… Namun dengan berat hati, didorong oleh keinginan memberi penjelasan
rinci, saya harus menerapkan bahwa hukum tertulis mereka sangat banyak
menyimpang dalam praktik… Hanya saja, kritik atas kekurangan tersebut bukanlah
kecaman, jika kita menyadari bahwa di antara semua negara di Timur…hanya orang
Bugis yang telah sampai pada tingkat pengakuan hak-hak warga negara, dan
satu-satunya yang telah membebaskan diri dari belenggu kelaliman. (Brooke, Narrative of Events. 65-6)
Di setiap lapisan masyarakat, dari
masyrakat biasa hingga penguasa tidak hanya di Wajo’ hak serta kewajiban setiap
orang diatur dalam hukum adat, sebagaimana yang tertulis dalam lontara’ dan dalam pemahaman bersama.
Dalam salah satu naskah termaktub prinsip berikut: “Bila keputusan raja bisa
ditentang, maka keputusan dewan adat tidak boleh digugat; jika keputusan dewan
adat bisa ditentang, maka keputusan pemimpin rakyat masih bisa ditentang, maka
keputusan rakyat tetap tidak boleh digugat (rirusa’
taro arung, tenrirusa’ taro ade’; rirusa’ taro ade’, tenrirusa’ taro anang;
rirusa’ taro anang, tenrirusa’ taro to-maega-e’). Brooke juga mengamati
peran pemimpin rakyat.
Ada
dewan perwakilan rakyat, yang terdiri atas para tetua kampung dan orang biasa
yang dihormati warga, yang bersidang dalam keadaan luar biasa, mengemukakan
pendapat dan mendiskusikan masalah-masalah penting, walau mereka tidak berhak
mengambil keputusan. (Brooke, Narrative
of Events: 63)
Hal tersebut sekali lagi menunjukkan
kemampuan orang Bugis yang selalu bisa melongarkan kekakuan system pemerintahan
dan mengimbanginya dengan sesuatu yang bersifat fleksibel dan pragmatis. Dan
itu tidak hanya berlaku di Wajo’, tetapi juga dikerajaan-kerajaan lain.
Struktur pyramid yang menghubungkan wanuadengan
pemerintahan pusat melalui persetujuan bilateral dapat ditemukan pada semua
kerajaan Bugis. Begitu pula dengan dewan bangsawan sebagai dewan penengah,
aturan pemilihan pejabat dan supremasi hukuman adat. Perbedaan utama antar
kerajaan terletak pada keinginan atau kemampuan masing-masing penguasa untuk
menerapkan pendekatan otoriter dan sentralistik. Dalam hal ini Bone merupakan
kebalikan dari Wajo’, yang menyebabkan kedua kerajaan ini berselisih selama
berabad-abad.
2.6 Hubungan Patron-Klien
Sejalan
dengan sistem stratifikasi social orang Bugis yan menetapkan status seseorang
berdasarkan keturunan serta sistem pemerintahan yang membagi masyarakat ke
dalam unit-unit wilayah dengan raja atau pengusanya masing-masing dua sistem
yang menyebabkan tingginya tingkat stabilitas sosial karena mengalokasikan
kepada setiap individu tempat yang permanen dalam suatu bagian masyarakat
tertentu terdapat pula sebuah sistem yang selama berabad-abad memungkinkan
terjadinya mobilitas sosial, persaingan di antara mereka yang sederajat, kerja
sama antarstrata sosial, dan integrasi dalam berbagai kelompok, yang biasanya
tak memperhitungkan batas wilayah. Sistem tersebut adalah sistem patron-klien
(Pelras, “Patron-Client”).
Beberapa penulis telah merujuk
kepada sistem tersebut sejak permulaan abad ke-19 (Kooreman, “Feitelijke
toestand”). Akan tetapi, keberadaan dan arti pentingnya bagi masyarakat
Sulawesi Selatan belum memperoleh perhatian yang layak dari para ilmuwan
sebelum Chabot menulis buku (Chabot, “Kinship”)
tenetnag kekerabatan, status, dan gender dalam masyarakat Makassar. Penelitian
lebih mutakhir tentang Bugis dan Makassar (Lineton, Study of the Bugis; Hasan Walinono, Tanete) membuktikan bahwa sistem patron-klien ternyata mampu
bertahan di bawah kondisi politik dan historis yang relatif berbeda.
1.
Pola
Dasar Hubungan Patron-Klien
Dalam
sistem patron-klien masyarakat lain, seperti orang Romawi kuno, Amerika Latin
modern, dan berbagai komunitas di Nusantara, hubungan antara pemimpin dengan
pengikutnya diikat oleh hak dan kewajiban masing-masing. Dalam masyarakat
hirarkis Bugis dan Makassar sebelum masa penjajahan, setiap bangsawan terkemuka
berada ditengah-tengah jaringan yang mengikatkan padanya sejumlah pengikut yang
cukup besar. Jika seorang pengikut “mendaulat” seorang bangsawan sebagai
tuannya, maka dia berarti menyatakan kesediaannya memenuhi semua perintah
tuannya.Termasuk di antaranya perintah untuk pergi berperang, berburu atau
menemaninya dalam suatu perjalanan, bekerja di sawah, serta mengerjakan
pekerjaan rumah tangga seperti mengangkat air dan mencari kayu bakar. Jika sang
majikan mengadakan pesta perkawinan, misalnya, pengikutnya akan segera datang
meski tinggal di tempat jauh. Mereka akan merasa bangga jika dapat hadir dalam suatu acara yang bisa
memperlihatkan status dan pentingnya sang patron. Mereka akan menyumbangkan
uang atau hadiah, serta bantuan tenaga dalam persiapan pesta tersebut. Sebagai
balasannya, mereka akan diberikan makan, tempat bermalam dan hiburan.
Pengikut yang belum menikah dengan
sukarela tinggal dirumah tuannya sebagai pembantu rumah tangga. Tempat tinggal,
makanan dan pakaian ditanggung, tetapi mereka tidak diberi upah. Ketergantungan
seperti itu, terutama pada pengikut yang sangat miskin menyebabkan mereka tidak
jauh berbeda dengan budak biasa. Dan jika diamati sepintas, mereka mungkin akan
disangka budak. Akan tetapi, terdapat perbedaan sangat besar antara mereka dan
budak. Perbedaan utamanya terletak pada status hukum pengikut karena meski
tergantung kepada tuannya, mereka tetap berstatus to-maradeka (orang bebas). Oleh karena itu, menurut hukum, mereka
bebas memisahkan diri, tidak boleh diperlakukan semena-mena, dan hak-haknya
dilindungi hukum adat (Pelras, “Patron-Client”
Bagi pengikut, manfaat hubungan
patronasi tersebut tidaklah sedikit. Sang tuan harus “berbaik hati” dan
melindungi para pengikutnya.Jika mereka diperlakukan semena-mena oleh orang
lain, majikannya yang akan membela. Menyerang pengikut sama artinya dengan
menyerang majikan, dan sang patron berkewajiban membalaskan dendam. Bila sapi atau
kuda seorang pengikut dicuri, tuannya akan berusaha menemukan kembali ternak
itu dan menghukum pencurinya.
Banyak bangsawan yang bertanggung
jawab atas kesejahteraan pengikutnya dengan menyediakan lahan, ternak atau alat
yang dibutuhkan. Juga memberi bantuan saat mereka mengadakan pesta atau ketika
mereka tertimpa musibah. Jika panen klien gagal, patronnya akan menyediakan
padi dan komoditas lain. Bila seorang pengikut ingin menikah, maka pesta
perkawinan biasanya diselenggarakan oleh patronnya, malah kadang-kadang dialah
yang memilihkan jodoh dari para pengikutnya sendiri.
2. Dasar-Dasar Sistem Patron-Klien
Ada beberapa factor yang mungkin
mendasari lahirnya ikatan patron-klien dalam masyarakat Bugis. Faktor pertama
adalah sistem kekerabatan bilateral di mana sistem patronasi dalam batas
tertentu merupakan kelompok kekerabatan yang terorganisisr, seperti klan atau marga dalam masyarakat dengan
sistem unilineal. Kelompok klien biasanya diperkuat melalui perkawinan
antaranggota, sehingga dalam waktu singkat sistem tersebut sulit dibedakan lagi
dengan kekerabatn bilateral. Faktor lain yang mendukung lahirnya ikatan
patron-klien adalah adanya suatu sistem stratifikasi sosial yang mengizinkan
kaum bangsawan terlibat dalam perdagangan dan redistribusi kekayaan. Selain
itu, hubungan hirarkis yang terwujud pada zaman sejarah antara wilayah terkecil
dengan kerajaan besar, dan kebutuhan kaum bangsawan akan dukungan orang banyak
guna menduduki jabatan politik, juga merupakan dasar lahirnya sistem tersebut.
Hubungan antar pemimpin dan
pengikut, patron dan klien, terjalin secara sukarela dan hanya berdasarkan
kontrak tak tertulis. Hubungan ini bisa berakhir kapan saja, dan sepanjang
klien tidak memiiki hutang kepada patronnya, maka dia setiap saat dapat pindah
kepatrol lain. Aspek inilah yang membuat pengamat dari Barat sangat takjub.
Raffles, misalnya mencatat:
Orang
Bugis mengingatkan diri pada pemimpin sesuka hatinya, tetapi mereka menunjukan
ketaatan dan kesetiaan tiada tara. Mereka kerap berganti pemimpin, tetapi
jarang sekali mereka mengkhianati mantan pemimpinnya. Persekutuan mereka yang
kecil pun dapat bertahan terus berkat keteguhan rasa kasih dan kehangatan jiwa
mereka, sama seperti yang terdapat dalam klan Britania Utara (Raffles, History of Java, lampiran F, ‘Celebes’:
CLXXXIII-CLXXXIV).
Pemimpin juga dapat
memberhentikan pengikutnya jika tidak memenuhi kewajiban namun kedua pihak
selalu berusaha menjaga agar hubungan mereka tidak berakhir dengan konflik.
Jika
seorang pengikut merasa cukup kuat untuk
mandiri tanpa perlindugan-perlindungan sang tuhan dia berhak memisahkan diri
bahkan boleh menjadi pemimpin dari pengikutnya sendiri. Bukan hanya bangsawan
kelas tinggi yang memiliki pengikut
tetapi juga bangsawan rendah, atau mala orang biasa yang kaya memiliki
banyak pengikut daapat meningkatkan satatus sosial seorang bangsawsan beserta
kerabatnya dan merupakan modal penting menghadapi persaingan bangsawan lain untuk memperoleh kehormatan,jabatan,atau
kekayaan sebaliknya semakin tinggi gelar atau jabatan , atau kian melimpa harta
benda seseorang patron semakain besar pula kebangggan, atau manfaaat, dan
keuntungan yang di peroleh klienya. Patron yang yang ingin menambah loyalitas
dan julah pengikutnya harus menjalankanya perannya dengan baik dan memberikan
jaminan keamanan penuh jika mereka tidak ingin ditinggalkan.
Pada zaman
dahulu, ada tiga cara memperoleh pengikut. Pertama sebagai warisan, ketika
seorang ppatron meninggalkan dunia, pengikut kadang mengabdikan kesetiannya
kepada salah seorang anak sang pemimpin, tetapi proses tersebut bukan hal yang
bterjadi secara otomatis, cara kedua menarik klien adalah dengan memperliatkan
karisma pribadi yang luhur.pada kedua cara itu. ada tiga faktor penting yang harus
diperhtikan:status sang patron, jabatan yang ia pegang, dan kebribadiannya.
Semakin tinggi derajat atau kedudukan seorang bangsawan, semakin besar peluang
mendapat pengikut. Asalkan status itu didukung pula oleh kualitas pribadi yang
layak yang dimilikioleh seorang pemimpin yang baik: berani,baik tutur
katanya,memiliki inisiatif, mampu membangkitkan semangat, dan yang paling
penting, berkepribadian simpatik. Cara ketiga untuk memperoleh pengikut adalah
melalui perkawinan. Dalam hal ini, selain status dan tingkat hubungan
kekerabatan, faktor lain yang menentukan pemilihan calon istri bangsawan adalah
luasnya pengaruh bapak atau saudara laki lakinya, di ukur melalui sedikit
banyaknya pengikut mereka. Kelak, secara tidak langsung, pengikut keluarga sang
istri juga menjadi pengikut sang suami. Itulah sebabnya mengapa bangsawan kelas
tinggi, selain mengawini perumpuan berstatus sederajat yang akan memberinya anak sebagai pewari, juga menikah
dengan perumpuan berstatus lebih rendah, sehingga, melalui bapak atau saudara
laki -laki istrinya, ia bisa memperluas pengaruh kekelompok atau wilayah yang
masih diluar jangkuanya.
3.
Hubungan Patron-Klien Sebagai Alat Politik
Berhubungan jabatan politis dalam sistem pemerintahan bugis tidak
berdasarkan pewarisan mutlak, dan satu satunya persayaratan sukses kekuasan
adalah status kebangsawan dan keanggotannya dalam silsilnya yang longgar, malah
kadang kadang dari garis keturunnan yang
sudah amat jauh, maka nilai lebih mereka yang bersaing untuk menduduki
suatu jabatan akan ditentukan pula peluangnya oleh besarnya jumlah dan pengaruh
pengikutnya. Ada dua jenis pengikut: dari kalangan biasa, yang bisa langsung melayani tuannya,
dan pengikut dari kalangan bangsawan, lebih tepat disebut pendukung, yang juga
memiliki pengikut sendiri. Melalu mereka lah struktur piramida kekuasan
terbangun; beberapa kelompok pengikut betsatu melalui pemimpin masing masing
dibawah satu patron lebih tinggi.
Ada bukti jelas besar
pengaruh pemimpin terkenal arung palakka di abad ke-17 berakar dalam sistem
semacam itu. contoh lain adalah peran penting yang dimainkan pemimpin bugis
yang merantau dengan pengikut mereka ditanah melayu dan tempat-tempat lain pada
abad ke-18 dalam proses perubahan yang terjadi pada berbagai kolsultan melayu.
Gejala yang sama tampaknya juga terjadi, tepat pada awal periode sejarah, pada
wanua yang didirikan oleh pemimpin yang datang dari suatu tempat bersama
sekelompok kecil pengikut guna mencari peluang usaha dan lahan baru. Akibat
karisma pribadi dan keberhasilan dibidang ekonomi, mereka kemudian menarik hati
pendatang baru untuk bergabung dalam sekelompok yang mereka pimpin. Proses
seperti mungkin telah ada ketika nenek moyang orang sulawesi selatan dewasa ini
datang dari seberang laut untuk menetap dipinggir sungai saddang. Oleh karna
itu, agak mengherankan karna ternyata dalam la galigo hal-hal seperti itu sama
sekali tidak pernah disinggung. Penyebabnya mungkin berkaitan dengan masalah
ideologis: dalam sistem la galigo, raja harus dipatuhi karena memiliki darah
dewata, bukan karena kualitas pribadinya.
4. Aspek
ekonomi hubungan patron-klien
Selain kehormatan dan
kekuasaan sebagai aspek yang mendasari hubungan patron-klien, faktor ekonomi
juga tidak kalah pentingnya. Sebagaimana dibahs lineton (study of the bugis)
Salah satu tugas utama pemimpin tradisional adalah mendistribusikan kembali
harta kekayaan. Pada awal dekade 1950-an, sesaat sebelum sistem organisasi
pemerintahan tradisional disulawesi selatan mulai pudar, peran tersebut masih
menjadi landasan sistem pemerataan ekonomi.
Barang yang diterima para
bangsawan, baik sebagai penghasilan dari jabatan yang dipegang maupun
pendapatan dari perayaan tertentu, jika tidak langsungdibagikan-bagikan, akan
disimpan sebagai persediaan untuk kelak dibagikan pada saat diperlukan. Roda
ekonomi itu berjalan sangat efisien pada masa kejayaan kerajaan-kerajaan tua
Sulawesi Selatan, ketika penghasilan yang diperoleh penguasa dari bidang
pertanian ditambah lagi dengan pendapatan dari perdagangan antar pulau.
Terdapat
pula keterkaitan antara kekuatan politik dan penguasaan(yang tidak harus
berarti kepemilikan) atas lahan. Dengan sedikit pengecualian, bangsawan Bugis
pada umumnya bukanlah pemilik lahan yang sangat luas. Kekayaan mereka lebih
diperoleh dari akses kolektif terhadap jabatan politik yang bias menjadi sumber
penghasilan: seperti hasil dari lahan tertentu, areal hutan dan perikanan,
presentase hasil lahan lain; pajak hasil panen, pasar dan penjudian, serta
cukai barang-barang yang masuk melalui pelabuhan (Pelras, “Patron-Client”).
Melalui
system seperti itu, beban yang dipikul keluarga bangsawan kelas atas cukup
berat. Mereka harus menghidupi banyak orang dalam rumah tangga mereka, termasuk
budak, pembantu pengikut, pelayan, dayang-dayang, dan keluarga dekat maupun
jauh. Mereka semua harus ditanggung pangan dan (kadang-kadang) sandangnya.
Pemimpin dari kalangan bangsawan juga harus membantu kerabat bukan bangsawan
yang akan membuatnya merasa malujika mereka hidup melarat. Tentu saja mereka
harus membantu kebutuhan pengikutnya, baik klien miskin yang punya sedikit
lahan atau budak yang benar-benar papa (meski kaum budak juga bisa punya lahan
dan barang lainnya, sehingga perbudakan di Bugis, dan masyarakat Asia Tenggara
pada umumnya, sangat berbeda dengan system yang berlaku di Mediterania kuno
atau belakangan di kalangan orang Afrika Amerika di Amerika Utara atau Hindia
Barat). Walau mereka berstatus sebagai budak yang sepenuhnya tergantung kepada
majikan, tetapi mereka tidak boleh disuruh kerja paksa atau dihukum fisik. Yang
Sebenarnya, posisi mereka sulit dibedakan dengan pengikut lainnya, kecuali
bahwa mereka terikat seumur hidup pada majikannya, yang berhak menjual si budak
dan anak-anaknya. Akan tetapi sang majikan juga mesti menjaga budaknya, bahkan
kadang menyediakan rumah dan lahan pertanian.
BAB III
KESIMPULAN
3.1
Kesimpulan
Transisi masyarakat Bugis dari era
tradisional ke era modern sebenarnya melewati proses panjang dan kompleks.
Banyak unsure kebudayaan warisan masa lalu yang masih tetap hidup. Ada pula
yang perlahan-lahan mengalami proses transformasi yang lambat sejak abad
sebelumnya lalu menjelma menjadi sesuatu yang baru—meskipun tetap ada jejak
kesinambungannya dengan masa silam—dan kini menjadi bagian dari kebudayaan
Bugis modern. Namun, ada pula unsure-unsur budaya zaman masa lampau yang sudah
lenyap sama sekali. Selanjutnya, objek-objek, norma, pola-pola perilaku yang
sama sekali baru telah dan masih terus muncul menggantikannya. Sebagian besar
diantaranya tidak lagi berkaitan dengan cirri khas orang Bugis dan hanya
merupakan pengaruh dari suatu budaya dunia dalam wujud ke-sulawesi-selatan-an,
ke-indonesia-an, dank e-asia-tenggara-an. Benang-benang budaya aneka warna
tersebut kemudian tersulam menjadi layar pancawarna yang melatarbelakangi
budaya Bugis masyarakat Bugis dewasa ini.
3.2 Saran
Penulis menyadari bahwa
dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan, maka dari itu
kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat kami harapkan demi
kesempurnaan penyusunan makalah kami selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Pelras, Christian. 2006. Manusia Bugis. Jakarta: ISBN
No comments:
Post a Comment